PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Jalan Anyelir I, Nomor 4A, Desa Dauh Peken, Kec. Tabanan, Kab. Tabanan, Bali

Call:0361-8311174

info@suaradewata.com

Tutik Kusuma Wardani: Hukum Adat “Kasepekang” Jadi Ancaman Pemersatu Bangsa

Minggu, 26 Maret 2017

00:00 WITA

Buleleng

4803 Pengunjung

PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

istimewa

Buleleng, suaradewata.com – Masih diberlakukannya pengasingan terhadap seseorang dari suatu wilayah tempat tinggal asalnya atau dalam Hukum Adat Bali dikenal dengan istilah “Kasepekang” dinilai merupakan salah satu ancaman yang akan menggerus jati diri masyarakat sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Selain bertentangan dengan prinsip Hak Asasi Manusia dan prinsip setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum, sistem hukum adat itu pun dapat menimbulkan rasa kebencian bagi seseorang yang menjalaninya.

Hal itu dikatakan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) sekaligus anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Putu Tutik Kusuma Wardhani, saat melakukan sosialisasi empat pilar tentang Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dihadapan seluruh anggota Koperasi RSU Kertha Usada Singaraja, Kabupaten Buleleng, Sabtu (25/3/2017).

Dalam kesempatan menyerap aspirasi masyarakat itu, Srikandi Buleleng itu mengatakan hukum adat kasepekang tidak pantas dipertahankan menjadi identitas Bali yang malah menyebabkan terpuruknya persatuan dan kesatuan khusus di era modernisasi di Bali.

"Ada kesepekang dan ini seharusnya tidak perlu terjadi. Bibit-bibit kebencian, harus dihilangkan. Inilah intinya kami sosialisasikan 4 pilar kebangsaam, khususnya Bhineka Tunggal Ika," kata Tutik dikonfirmasi usai sosialisasi tersebut.

Dengan dilakukannya sosialisasi tersebut kepada seluruh anggota Koperasi RSU Kertha Usada Singaraja, Tutik mengharapkan pemahaman empat pilar dan ancaman pemberlakuan sanksi kasepekang itu mampu disebar luaskan kepada masyarakat luas.

Sehingga, masyarakat mampu memahami arti dari 4 pilar kebangsaan dan mampu menumbuhkan persatuan bangsa.

"Perbedaan itu indah. Penuh warna-warni, kita boleh ajukan pendapat berbeda, ekspresikan diri secara bebas, tapi etika harus dijaga, bukan menumbuhkan kebencian. Inilah kebhinekaan ini kami tekankan, jangan sampai terjadi kebencian, karena pemahaman 4 pilar ini yang kurang," ujar Tutik.

Srikandi Demokrat asal Buleleng ini juga mencontohkan, ada permasalahan di salah satu desa di Bali, dimana karena ada perbedaan pandangan, warga tidak boleh mencari KTP di desa tersebut. Salah satu yang sempat mencuat dan menyebabkan konflik berpuluh tahun yakni di kawasan Desa Pegadungan, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Yang menurutnya, bibit kebencian pun pada akhirnya menyebabkan perpecahan dan rasa kebencian sekelompok warga yang tidak diberikan pelayanan administrasi.

"Saya ingin kembali tekankan, agar kesepekang dihilangkan. Bayangkan saja, para leluhur kita berjuang demi kemerdekaan. Kini berhasil dan kita sekarang menikmati kemerdekaan ini. Harusnya dinikmati dengan hal positif, bukan malah mempertahankan hal-hal yang menjadi potensi pemecah keutuhan kita dalam berbangsa dan bernegara,” papar istri dari mantan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Buleleng, Gede Dharma Wijaya.

Kedepan, pihaknya akan menyasar masyarakat umum khususnya generasi muda untuk memberikan pemahaman tentang 4 pilar. Sehingga nantinya mampu mengimplementasikan semangat persatuan dan kesatuan dalam berbangsa yakni Indonesia.

Dikatakan, sejarah Bali tentu tidak bisa terlepas dari sejarah keberadaan Bangsa Indonesia. Yang dalam konteks merebut suatu kemerdekaan berawal dari semangat persatuan dan tekad bersama untuk lepas dari penjajahan. Hal itu tentu tidak dilakukan  oleh kelompok-kelompok tertentu di satu wilayah tertentu saja. Melainkan, pengorbanan hingga nyawa yang dipertaruhkan oleh para Pejuang bangsa tentu didasari oleh rasa persatuan dan kebangsaan Indonesia.

"Diskriminasi terhadap seorang warga Negara dibalik keberadaan aturan-aturan mendasar yang sudah bersifat nasional tentunya bukan suatu edukasi yang positif bagi generasi muda. Hal tersebut (Hukum Kasepekang) malah bisa menjadi fakto pemecah belah persatuan. Harus kita sadari bersama dan fahami bersama tentang Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Sehingga, bangsa ini akan menjadi bangsa yang kuat, bersatu, dan tidak bisa dipecah belah hanya karena diskriminasi terhadap seseorang atau sekelompok orang,” pungkasnya. adi/ari


Komentar

Berita Terbaru

\