Malam Renungan Siwaratri, PHDI Bangli Ingatkan Umat Jadi Hindu Sujati
Jumat, 27 Januari 2017
00:00 WITA
Bangli
4042 Pengunjung
suaradewata.com
Bangli, suaradewata.com - Ketua Harian Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Bangli Drs. I Nyoman Sukra mengingatkan umat hindu sedarma untuk selalu waspada karena saat ini ada pihak tertentu yang ingin memecah belah dan menghancurkan Hindu di Bali dari dalam. Upaya penghancuran ini terlihat dengan masuknya budaya luar yang ingin mengikis tradisi budaya hindu di Bali. Hal ini disampaikan Ketua PHDI Bangli Nyoman Sukra saat pelaksanaan malam Siwaratri di Pura Dalem Panunggekan, Br. Blungbang, Kelurahan Kawan Bangli, Kamis (26/1/2017). Acara ini juga dihadiri oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Bangli Ir. I.B. Gde Giri Putra, sejumlah pimpinan perangkat daerah Kabupaten Bangli dan masyarkat Br. Blungbang.
Lebih lanjut Nyoman Sukra mengingatkan, kalau mau jadi orang Hindu dan tinggal di Bali, jadilah orang hindu Bali, jadilah hindu yang sujati Bali. Jangan sekali-kali membawa hindu bernuansa luar untuk mempengaruhi orang hindu Bali. Karena agama hindu di Bali adalah Hindu yang berbasis budaya bali, bukan budaya luar. Kalau ada yang mau menjalankan hindu versi luar silakan, asal jangan dibawa untuk mempengaruhi orang apalagi sampai dimasukkan ke desa pakraman. “Ini yang sangat berbahaya, karena di desa pakraman sudah ada aturan-aturan untuk menjalankan budaya hindu Bali. Pengaruh dari luar ini harus disikapi secara serius karena berpotensi mememcah belah umat ”pintanya.
Selain pengaruh Hindu luar, pada kesempatan itu Nyoman Sukra juga menyoroti tatanan kesulinggihan. Menurutnya, ada sulinggih yang tidak terdata di PHDI yang ajarannya sedikit bertentangan dengan PHDI. Kalau ada sulinggih yang prosesi kesulinggihannya tidak melalui mekanisme PHDI, mohon maaf saja, PHDI tidak akan mengakui kesulinggihan orang tersebut. Parahnya, sambung dia, ada dari sulinggih tersebut berani membuat tradisi baru dan mengesampingkan aturan parisada. Sulinggih tersebut membolehkan umat menggunakan satu jenis warna ayam untuk berbagai jenis yadnya. Yang lebih parah lagi, sulinggih tersebut membolehkan umat mengganti wewalungan (hewan) persermbahan dengan boneka dan membolehkan mengganti sarana upakara yadnya dengan tulisan, semisal bhakti pejati yang seharusnya menggunakan kelapa dan sarana lainnya diganti dengan bacaan pejati. Kalau ini dibiarkan, bisa jadi nanti akan muncul rekaman kaset mantra sebagai pengganti sulinggih. “Ini tidak benar dan sangat berbahaya. Ini praktis yang menyesatkan, ini tidak benar dan harus disikapi bersama.”tegasnya.
Terkait dengan pelaksanaan Siwaratri, Nyoman Sukra menjelaskan, jika disesuaikan dengan perkembangan zaman, sesungguhnya kita ini adalah seorang Lubdaka (pemburu) modern. Mungkin pemburu pengetahuan, kekayaan bahkan pemburu cinta. Oleh karenanya perburuan ini harus dikendalikan dengan upawasa (berpuasa), monobrata (tidak berbicara) dan jaga brata (tidak tidur) pada malam siwaratri. Namun jika dijaman sekarang semua umat Hindu diminta menjalankan siwaratri seperti Lubdaka, berpuasa, tidak berkata dan tidak tidur selama satu setengah hari (36 jam), maka mungkin tidak semua umat hindu yang bisa menjalankan siwaratri. Sehingga dalam agama hindu ada istilah keseimbangan. Menjalankan ajaran agama sesuai dengan kemampuan, bukan memaksakan diri. Bisa menjalankan brata siwaratri selama 12 jam, bisa menjalankan brata siwaratri selama 24 juga dan bisa menjalankan penuh selama 36 jam. Karena jadi orang hindu tidak sulit, hindu agama yang fleksibel tidak memaksakan umat berbuat diluar kemampuan. “Menjalankan brata siwaratri 12 jam baik, 24 jam juga bisa dan 36 jam juga lebih baik. Pahalanyapun sama, yang terpenting dijalankan dengan niat yang tulus dan iklas untuk melaksanakan brata siwaratri”pungkasnya.
Sementara itu Sekda Bangli I.B. Gde Giri Putra mengatakan, pada hakekatnya tujuan kita melaksanakan brata siwaratri adalah untuk mengendalikan hawa nafsu dan mengintrospeksi diri akan perbuatan dan tujuan kehidupan kita didunia ini. Menurutnya, hari Siwaratri sesuai sastra Kakawin Siwaratri Kalpa yang ditulis oleh Mpu Tanakung menceritakan pemburu yang bernama I Lubdaka yang mencapai siwa loka melalui siwaratri kalpa.
Lebih lanjut Sekda Giri Putra juga menjelaskan, di zaman sekarang kita semua adalah seorang pemburu di dunia. Bisa dikatakan demikian, karena ada dari kita yang memburu kebaikan, ada yang memburu kekayaan dan nafsu, ada yang memburu makanan, pengaruh, cinta dan ada yang memburu kekuatan dan lainnya. Oleh karenanya, kita semua adalah lubdaka-lubdaka yang masih dalam kegelapan yang memerlukan sinar suci untuk mengendalikan perburuan kita didunia ini. “Melalui brata siwaratri, mudah mudahan Ida Bhatara Siwa memberikan sinar dan tuntunanya untuk kita berbuat lebih baik lagi”pungkasnya. ard/ari
Komentar