Opini, suaradewata.com - Bom yang baru saja terjadi di Samarinda, Kalimantan Timur (13/11) kemarin, merupakan salah satu bukti dari eksistensi kelompok Islam Garis Keras yang berupaya mengkonstruksi permasalahan SARA baru dengan melakukan provokasi antar umat beragama di Indonesia.
Hal ini terjadi tatkala ekshlasi konflik SARA di Indonesia pasca 4 November sedang berada dipuncak tertinggi. Sehingga beberapa kelompok ormas kepentingan berupaya memanfaat kasus penistaan agama oleh Ahok sebagai dalih menebar kebencian.
Sekitar pukul 10.10 WITA, tepat di depan Gereja Oikumene, pelaku yang merupakan seseorang mantan tahanan teroris beranama Juhanda, tanpa berpikir panjang melemparkan sebuah bom molotov berskala ledakan kecil tepat diparkiran gereja. Naifnya beberapa anak kecil tak bersalah menjadi korban dan harus di rawat intensif di Rumah Sakit Umum di Samarinda.
Pelaku Teror Samarinda
Pelaku Teror Samarinda diduga bernama Joh alias Jo bin Muhammad Aceng Kurnia alias Juhanda. Pria rambut panjang yang diperkirakan berusia 32 tahun ini bekerja sebagai Marbot Masjid Mujahidin di Jalan Cipto Mangunkusumo, Loajanan Ilir, Samarinda. Juhanda yang kesehariannya akrab disapa warga, ternyata merupakan salah satu mantan narapidana terkait tindak terorisme bom buku di Tanggerang Selatan pada pertengahan tahun 2011 silam, dan sempat menjalani masa hukuman penjara selama kurang lebih 3.5 tahun.
Motif dan Tujuan dari Tindakan Teror
Berdasarkan informasi yang diperoleh, saat ini Juhanda adalah salah satu anggota dari kelompok Jemaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi secara langsung dengan kelompok terorisme dunia, yakni Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).
Diduga motif yang melatarbelakangi kasus ini adalah strategi ISIS dalam mengembangkan hagemoninya dengan menciptakan ketakutan diinternal masyarakat. Dengan melihat celah dan peluang, dimana warga Indonesia kali ini sedang sibuk membicarakan permasalahan dugaan penistaan agama oleh Ahok yang rentan akan isu SARA, maka dengan sigap kelompok pimpinan Abu Bakar Al-Baghdadi ini langsung menyusun strategi guna memicu konflik komunal yang rentan akan sarat agama.
Hal ini secara gamblang dapat di amati melalui motif perencanaan pengeboman, dimana Samarinda merupakan salah satu provinsi yang didominasi oleh warga Dayak Nasrani dan gereja sebagai tempat warga nasrani beribadah.
Tidak seperti bom-bom sebelumnya yang cenderung memilih objek vital seperti hotel atau hal layak keramaian atau bahkan rela melakukan bo bunuh diri sekalipun. Namun kali ini jelas bahwa pemilihan target dan ciri khas bom yang hanya berbentuk molotov, merupakan motif terselubung guna memperhangat konflik SARA penistaan agama.
Jangan Takut, Jangan Terprovokasi
Bukan sentimen antar umat beragama yang dibangun, bukan pula sikap curiga saling mencurigai. Namun yang perlu digaris bawahi bahwa kejadian bom molotov yang baru saja terjadi di Samarinda, merupakan segenap aksi lanjutan dari aksi 4 November yang terbukti telah dimanfaatkan oleh kelompok Islam Garis keras yakni ISIS yang berupaya untuk memperkeruh keadaan.
Juhanda yang merupakan pelaku bom molotv bukanlah murni individu yang beragama Islam. Hal ini dapat dijawab dengan lugas oleh Allah SWT melalui kitabnyA Al-Quran, dimana didalam ajaran Islam, tidak ada satu ayat pun yang mengajarkan jama’ahnya untuk melukai apalagi mencederai sesama umat manusia.
Terlebih untuk menanggapi permasalahan ini dan mengaitkannya dengan kasus 4 November kemarin, sudah selakyaknya kita semua warga Indonesia mulai bersikap cerdas dalam memahami permasalahan ini secara dewasa. Hilangkan sentimen saling benci membenci antar umat beragama, karena hal demikian hanya akan memecah persatuan dan kesatuan.
Komentar