Opini, suaradewata.com - Demo 4 November, salah satu gerakan massa dengan jumlah peserta terbesar sepanjang sejarah republik ini, walau dipenghujung aksi dimanfaatkan oleh gerombolan perusuh untuk menciptakan kekacauan. Meskipun polisi dengan sigap telah berhasil menangkap para pelakunya ini. Hal ini membuktikan sekali lagi bahwa ada agenda terselubung dari kelompok kelompok tertentu yang terlibat yang lebih banyak bernuansa politis ke tiimbang agamis.
Pemberitaan dan aksi-aksi massa seputar penistaan agama yang dilakukan Ahok, terkait surat Al-Maidah ayat 51 telah menemukan momentumnya dan membuahkan hasil, Setidaknya secara statistik. Para disainer di belakang munculnya kasus ini boleh bersenang hati. Salah satunya Buni Yani sebagai pemicu munculnya perkara ini, layak tersenyum. Buni Yani telah berhasil membuat kasus Al-Maidah Ahok menjadi perkara besar yang mengganggu ketenangan seluruh negeri.
Menurut Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian aksi demo lanjutan 25 November atau 2 Desember nanti menyimpan agenda tersembunyi. Bukan lagi soal tuntutan proses hukum Ahok, melainkan sudah bernuansa politik. Sebab menurutnya kalau proses hukum Ahok sudah jelas, polisi sedang memproses dan secepatnya akan dilimpahkan ke kejaksaan. (Sumber: kompas.com 19/11). Menurutnya Polisi tidak akan segan mengambil tindakan tegas jika sampai berpotensi mengganggu ketertiban umum.
Kemudian yang menjadi pertanyaan besar, benarkah aksi-aksi massa yang digalang oleh para politisi ini masih soal Al-Maidah? Karena pada kenyataannya, seruan untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah malah makin santer terdengar. Sebagai informasi di panggung Tugu Proklamasi Sri Bintang Pamungkas ikut menyerukan hal serupa. Dengan menyebut kekuasaan negara saat ini sebagai tirani, lantang Sri Bintang berseru, ungkapnya : "Tirani ini jangan cuma dilawan, tapi harus dijatuhkan. Masa Jokowi tidak bisa jatuh, Soekarno dan Soeharto saja jatuh." Pesan dan ajakannya jelas: mendongkel Jokowi dari jabatannya sebagai presiden. Ajakan itu dipertegas di akhir acara: sampai jumpa 25 November.
Jika penistaan agama sebegitu berbahayanya, kenapa hanya Ahok yang diperkarakan? Kejahatan-kejahatan lain dengan menggunakan ayat-ayat agama kenapa tak diproses hukum sedemikian pula? Gatot Brajamusti, Dimas Kanjeng, misalnya jika memang harus menyebut kasus lain. Kenapa cuma Ahok yang diancam ditembak mati? Padahal, kalau mau membandingkan, ada kejahatan-kejahatan lebih besar yang belum diungkap. Skandal-skandal korupsi yang nyaris terlupa: Kasus Century, Hambalang, proyek-proyek besar yang mangkrak yang jauh lebih banyak merugikan negara dan rakyat. Lalu apa yang jadi soal hingga harus ada gerakan massa tanggal 25 November atau 2 Desember nanti?
Namun, prediksinya akan ada upaya memanfaatkan kasus ini untuk men-down-grade Ahok, itu tentu biasa saat pilkada tetapi menjadi rawan dan tak biasa karena kasusnya cukup riskan, berisiko. Belum lagi jika ada kejadian yang muncul sebagai ekses dari pengerahan massa secara besar-besaran: kerusuhan, pembakaran, penjarahan, dan kekacauan. Padahal, 25 November adalah Hari Guru Nasional, peringatan lahirnya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Mestinya menjadi hari yang didedikasikan untuk para pendidik, dengan semangat untuk perbaikan, untuk menata masa depan. Bukan hari untuk saling tuding, saling ancam, dan saling menjatuhkan begitu juga 2 Desember yang pasti punya alasan tersemdiri. Berbagai pihak telah menghimbau untuk ikuti proses hukum dan tidak perlu aksi ke jalan, sementara Ahok pun sudah tersangka, namun jika masih terjadi aksi turun ke jalan dalam jumlah massa yang lebih besar, pastinya semua masyarakat Indonesia harus cerdas dan mencermati apa agenda dibalik semua ini. Kami masyarakat Indonesia hanya ingin suasana damai yang harmonis.
Aisyahni Anggun Zuhair : Penulis aktif pada Arus Madani untuk Kebangkitan Bangsa.
Komentar