PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Jalan Anyelir I, Nomor 4A, Desa Dauh Peken, Kec. Tabanan, Kab. Tabanan, Bali

Call:0361-8311174

info@suaradewata.com

Pencitraan Publik Menuju Pilgub DKI 2017

Rabu, 16 November 2016

00:00 WITA

Nasional

3641 Pengunjung

PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

istimewa

Opini, suaradewata.com - Menuju pemilihan gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017, segala daya dan upaya terus dilakukan para kandidat Gubernur demi memenangkan kursi Nomor 1 di Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2017 mendatang. 
 
Salah satu upaya yang dilakukan, layaknya "perbuatan yang sangat tulus" namun tersurat pencitraan yang luar biasa, yaitu gugatan terhadap Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada oleh Calon Gubernur Petahana, Basuki Tjahja Purnama alias Ahok.
 
Secara kasat mata, gugatan ini merupakan bentuk prihatin seorang Petahana terhadap tanggung jawabnya, yaitu menjadi pemimpin dan pengambil keputusan di tingkat Provinsi DKI Jakarta. Benar-benar perbuatan mulia, di saat semua pejabat pemerintah mulai dari level terendah hingga level pimpinanpun, cuti atau libur adalah hal yang selalu dinanti-nanti. 
 
Akan tetapi, hal tersebut ternyata seperti tidak berlaku bagi seorang Ahok. Ahok dengan lancangnya menolak cuti, yang jelas-jelas telah diatur dalam pasal 70 ayat 3 huruf a UU Pilkada yang mewajibkan petahana mengambil cuti pada masa kampanye pada Pilkada Serentak 2017. Dengan demikian, Ahok diwajibkan cuti mulai dari tanggal 26 Oktober 2016 hingga 11 Februari 2017.
 
Alasan kuat yang mendasari Ahok menolak wajib cuti tersebut ialah Ahok merasa keberatan lantaran waktu cuti yang diatur tersebut bersamaan dengan masa penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) DKI Tahun 2017. Selain itu, Ahok mensejajarkan jabatan Gubernur dengan jabatan Presiden logika praktisnya. Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden, bahwa presiden yang kembali mengikuti pemilu tidak diharuskan cuti selama masa kampanye.
 
Tanpa dipungkiri, fenomena ini menimbulkan banyak decak kagum publik terhadap Ahok. Namun sebagai masyarakat yang cerdas dan berpikir, dapat diendus bahwa gugatan ini syarat akan pencitraan dan tanpa ada tujuan untuk menang. Meski demikian, apa yang telah dilakukan Ahok patut untuk diacungi jempol. Boleh diakui, pencitraan publik yang dilakukan Ahok dan timnya kali ini, sukses sangat besar. Kenapa tidak? Citra yang terbentuk di masyarakat dengan adanya gugatan terhadap UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi, membuat Ahok dipandang sebagai seorang Gubernur yang sangat bertanggung jawab dan benar-benar ingin bekerja dengan merelakan hak cutinya untuk memajukan Provinsi DKI Jakarta.
 
Analisis dewasa ini, tentu bukanlah hal yang tak berdasar. Jika kita memahami dengan seksama aturan perundang-undangan yang berlaku, sangat jelaslah bahwa gugatan Ahok sangat tidak masuk akal dan berdasar hukum.  
 
Hal tersebut serupa yang disampaikan oleh Pengamat politik dari Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta, Pangi Syarwi Chaniago bahwa alasan Ahok menolak cuti bagi calon petahana demi ikut serta dalam penyusunan APBD tidak masuk akal. 
 
"Bahkan pada pelaksanaan pilkada serentak sebelumnya, kepala daerah yang menjadi calon petahana bukan hanya bersedia cuti tetapi juga bersedia patuh mengosongkan rumah dinas ketika mereka mencalonkan diri kembali" jelasnya.
 
Selain itu, Pangi menambahkan "Jika kita flashback lagi ke belakang, Presiden Joko Widodo pernah menegur Ahok lantaran serapan anggaran DKI paling rendah di antara provinsi lain. Alih-alih Ahok ingin memantau jalannya penyusunan APBD, nyatanya Ahok juga tidak becus menggunakan APBD. Adapun total dana APBD DKI yang tersimpan di bank sebesar Rp 13,9 triliun". 
 
Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Yusril Ihza Mahendara dengan tegas meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk menolak seluruh gugatan yang diajukan oleh Ahok. "Sesuai dengan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, diatur jelas bahwa seluruh petahana yang mencalonkan kembali harus memenuhi ketentuan, salah satunya ialah menjalani cuti selama masa kampanye" ujarnya.
 
"Tidaklah relevan dan tidaklah ada ketidaksamaan kedudukan dalam hukum serta pemerintahan dengan membandingkan kedudukan presiden dengan gubernur dalam hal cuti. Presiden memiliki kewenangan strategis yang berbeda dengan gubernur, yaitu terkait keamanan negara" tegas Yusril.
 
 
Pengamat Sosial dan Politik di LSISI


Komentar

Berita Terbaru

\