Jelang “Digusur†Pemkab Buleleng, Warga Mohon Keadilan
Selasa, 04 Oktober 2016
00:00 WITA
Buleleng
5455 Pengunjung
suaradewata
Buleleng, suaradewata.com – Tiga warga Desa Giri Mas, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng, yang bangunan rumahnya terkena rencana pembangunan Rumah Sakit Pratama di desa tersebut merasa keberatan dan mohonkan keadilan. Pasalnya, selain memiliki bukti hak mengelola tanah Negara pada tahun 1968, lokasi yang kini ditempatinya dan ternyata memiliki nilai sejarah bekas kuburan massal korban pembunuhan yang merupakan anggota PKI itu pun telah ditempati sejak dari ayahnya.
Ketika warga desa dikawasan timur Kota Singaraja yang mengajukan surat lewat kuasa hukumnya tersebut masing-masing I Ketut Suada yang bekerja sebagai PNS, Wayan Widiada yang keseharian sebagai seorang buruh lepas, dan juga Made Sukrayasa yang kesehariannya bekerja disebuah tempat usaha milik pihak swasta.
“Selama ini kami diam dan selalu mengalah. Bahkan waktu bersengketa dengan pihak Universitas Panji Sakti, almarhum orang tua saya dulunya beberapa kali bolak-balik ke kantor Polisi karena dilaporkan. Tapi ya itu, pagi dipanggil lalu sore dilepaskan karena memang ada bukti hak kami sekeluarga untuk mengelola tanah tersebut sejak tahun 1968,” ujar Suada yang merupakan salah satu ahli waris dari almarhum Wayan Djapa sang pemegang surat izin pengelolaan, Selasa (4/10).
Lokasi tanah negara yang telah dikelola sejak sebelum tahun 1961 tersebut totalnya seluas 3500 Meter persegi atau sekitar 3,5 Hektare. Dimana, lanjut Suada, rumahnya kini pun terancam akan digusur oleh Pemkab Buleleng akibat masuk dalam rencana lokasi pembangunan Rumah Sakit Pratama.
Didampingi kuasa hukumnya, Suada pun mengajukan “somasi” melalui surat tertulis ke pihak Pemkab Buleleng. Dalam surat berperihal keberatan dan mohon keadilan kepada Bupati Buleleng.
Kepada awak media, Suada yang kesehariannya sebagai PNS itu mengaku beberapa kali didatangi oleh Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana, untuk membicarakan masalah tersebut. Namun, dirinya mengaku berulangkali menolak untuk dipindahkan terkait status hak pengelolaannya terhadap tanah negara yang ditempatinya itu belum pernah dibatalkan.
“Sejak sebelum tahun 1960 dulu kami kelola menjadi perkebunan untuk hidup sampai kami adik beradik bisa sekolah. Lalu kemudian tahun tahun 1968 pihak Provinsi Bali melalui Kantor Inspeksi Landuse meminta bagi hasil pengelolaan. Karena sekeluarga kami dulunya petani dan tidak mengerti, maka tanggal 16 Oktober 1968 surat tersebut disetujui lewat cap jempol almarhum orang tua saya (Djapa),” papar Suada.
Suada yang kelahiran tahun 1964 pun mengaku bahwa almarhum orangtuanya menjadi saksi mata pembantaian yang dikubur masal yang berada tak jauh dari lokasi rumahnya.
Bahkan ketika mengelola tanah negara tersebut untuk perkebunan, dirinya seringkali menemukan bekas tulang belulang korban pembantaian anggota PKI saat mencangkul. Akan tetapi, sejak diambil alih oleh Universitas Panji Sakti, pihaknya tidak bisa mengelola kembali lahan itu dan selalu dilaporkan setiap kali menanami tanaman perkebunan.
“Dulu ketika diambil alih (Oleh Universitas Panji Sakti), katanya akan digunakan untuk fakultas pertanian. Tapi sejak diambil alih kemudian tidak pernah dikelola. Kemudian dipakai lapangan tembak lagi oleh Perbakin. Sekarang rumah saya katanya mau direlokasi dan mendadak keluar surat dari Bupati Buleleng tanggal 11 September 2016,” paparnya.
Surat yang ditanda tangani Bupati Suradnyana bernomor 590/4394/Pem tanggal 11 September 2016 tersebut intinya menyebutkan memberikan izin kepada Suada dan keluarganya menempati lahan seluas 200 Meter persegi dilokasi yang tidak jelas letaknya. Pasalnya, hanya disebutkan di kawasan Desa Giri Mas dan luasnya pun menghapus hak pengelolaan perkebunan yang dimiliki oleh keluarga Suanda.
Suada mengaku menggunakan kuasa hukum terkait dengan kondisinya yang dirasakan kain terjepit dengan rencana penggusuran rumahnya terkait sudah ada proses pengerjaan pembersihan lahan serta rencana pelatakan batu pertama dilokasi tersebut.
Dimana, lanjut Suada, pihaknya melalui kuasa hukum meminta agar rencana tersebut tidak dilakukan tergesa-gesa oleh Bupati Buleleng terkait dengan hak keluarga Suada yang masih ada di atas tanah tersebut.
“Ini bukan tanah adat atau asset Pemkab Buleleng. Bukan juga asset Provinsi karena setahu saya, asset milik provinsi semua memiliki sertifikat. Ini murni tanah negara bebas dan sudah dikelola sebelum munculnya undang-undang Agraria. Artinya klien kami sebetulnya berhak untuk tetap mengelola tanah tersebut untuk perkebunan,” kata Nyoman Sunarta selaku perwakilan dari kuasa hukum sambil menunjukan dokumen keabsahan hak pengelolaan yang dimiliki kliennya.
Menurutnya, surat penunjukan terhadap orang tua kandung Suada yakni Almarhum Djapa pun berdasarkan surat tanah tanggal 22 September 1961 bernomor 1/Swa/1961. Dimana, surat tanah yang dikeluarkan tahun 1961 tersebut baru muncul setelah tanah itu dikelola lama oleh keluarga Suada. adi/ari
Komentar