PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Jalan Anyelir I, Nomor 4A, Desa Dauh Peken, Kec. Tabanan, Kab. Tabanan, Bali

Call:0361-8311174

info@suaradewata.com

Kita Saudara, Kita Indonesia!

Selasa, 27 September 2016

00:00 WITA

Nasional

5045 Pengunjung

PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

istimewa

Opini, suaradewata.com – Indonesia baru saja merayakan hari jadinya yang ke-71. Namun, semangat kemerdekaan yang ada terkadang masih terasa kurang. Hari dimana kita bersuka-cita merayakan ulang tahun kita yang ke-71 seharusnya dapat menjadi renungan untuk mengenang dan mengucap syukur atas kemerdekaan yang telah kita raih. Tapi apa benar kita telah merdeka? Bahkan kita masih sering terlena dan tanpa sadar menyakiti satu sama lain hanya untuk memenuhi seonggok kepentingan yang tidak sepenuhnya berarti. Apakah ini makna dari bangsa yang satu dan merdeka?

Jika ditarik ke belakang, pengorbanan nenek moyang kita untuk berjuang mengibarkan Sang Saka Merah Putih merupakan suatu kebahagiaan tiada tara walaupun harus dibayar dengan tumpahan darah. Nenek moyang kita berjuang mati-matian untuk negara yang bebas dari jajahan dan keterpurukan. Tak pernah sekalipun mereka mencoba mengeluh akan keadaan yang mencekam demi anak cucu mereka bisa menikmati apa itu makna merdeka dan bagaimana menjadi suatu bangsa yang utuh. Mungkin kita memiliki banyak perbedaan, tetapi kita tetap satu bangsa, bangsa yang merdeka, bangsa Indonesia. Dimulai dari budaya yang tak sama, bahasa yang saling melengkapi, warna kulit kita yang berbeda, dan masih banyak sekali perbedaan yang kita miliki. Namun, itulah yang menjadi salah satu identitas dari bangsa yang kuat dan dikenal dengan satu nama yang perkasa, Indonesia.

Dari keberagaman yang ada, tentu wajar apabila pemikiran kita juga turut beragam, apalagi bangsa kita menganut asas demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Pemikiran yang berbeda dan beragam bukan berarti sesuatu yang buruk, akan tetapi perlu dikembangkan menjadi sesuatu yang positif. Namun, saat ini banyak orang yang cenderung mengembangkan ide dan gagasannya ke arah yang negatif. Hal ini kemudian diyakini dan ditularkan pada orang lain sehingga menjadi suatu keyakinan yang mempengaruhi tindakan dan pola pikir pengikutnya. Mungkin masih segar di ingatan kita tentang kasus Organisasi Papua Merdeka (OPM) maupun gerakan separatis lain yang berawal dari pemikiran seseorang dan menimbulkan ketakutan, ketidakbebasan, kecemasan yang luar biasa, kelaparan, harta benda yang hilang, bahkan hingga pertumpahan darah. OPM menjadi topik hangat yang banyak mencuri perhatian. Ketika kelompok OPM muncul di media-media nasional dan internasional, yang muncul pemberitaan aksi-aksi brutal yang dilakukan untuk melawan pemerintah dan tuntutan kemerdekaan bagi Papua Barat. Walaupun dengan tujuan  memberikan kesejahteraan pada rakyatnya, gagasan dan pemikiran yang mereka miliki dituangkan dengan cara-cara yang salah dan justru berujung pada ketakutan serta rasa tidak aman.

Dimulai dari perang suku, penembakan aparat setempat, kecaman kepada pemerintah, pembakaran dan perusakan fasilitas negara, hingga penyerangan warga sipil. Tidakkah kita merasa lelah dengan keadaan seperti ini? Bukankah kita satu bangsa? Bukankah kita satu tanah air? Bukankah kita mencari kedamaian dan kesejahteraan?  Ketakutan dan kesedihan merajalela hanya untuk mencari perhatian pemerintah yang tanpa kita sadari telah memberikan banyak perhatian. Mungkin inilah yang kita sebut dengan kurangnya kita mengucap syukur pada Tuhan bahwa kita melupakan bangsa yang selalu menaungi kita dengan teduh, bangsa kita sendiri, bangsa Indonesia.

Namun, di balik banyaknya air mata yang pecah akibat semangat juang yang salah diartikan saudara kita, ternyata mampu menyadarkan banyak hati untuk kembali ke pangkuan ibu pertiwi dan bersimpuh pada NKRI. Pada 17 Agustus 2016,tepat setelah upacara Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia ke 71 tahun di Mulia usai diselenggarakan, sebanyak 100 orang mantan anggota kelompok Tentara Pembebasan Nasional (TPN) OPM menyatakan ingin kembali bergabung dengan NKRI dan menyatakan akan setia pada Indonesia. Mereka bahkan mengucapkan terima kasih pada pemerintah karena telah banyak melakukan perubahan dan menunjukkan kesungguhannya dalam merangkul rakyatnya.

Para mantan anggota OPM yang banyak berasal dari Tingginambut, Yambu, dan Mewuluk ini mengakui kesungguhannya untuk kembali pada Indonesia bukan berdasarkan atas paksaan dari pihak manapun, tetapi atas dasar kesadaran mereka sendiri setelah melihat tujuan mereka menciptakan masyarakat yang sejahtera telah banyak menjadi kenyataan di bawah bantuan pemerintah Indonesia. Upaya mantan anggota OPM untuk “turun gunung” dan mengajak saudara-saudaranya untuk berhenti menuntut kemerdekaan merupakan hadiah tersendiri bagi kita, terlebih tepat di hari kemerdekaan Indonesia. Kembalinya mereka menjadi catatan tersendiri bagi pemerintah untuk menjadikan Indonesia, terutama tanah Papua menjadi jauh lebih baik lagi. Dengan begitu kedamaian dan ketentraman akan kembali tercipta, generasi muda di Papua akan dengan leluasa mencetak prestasi tanpa mengkhawatirkan jauhnya tempat menimba ilmu, suasana mencekam di tengah hutan, maupun rentetan senjata yang menghantui mereka setiap saat.

Dukungan pemerintah yang terus mengalir juga seharusnya dapat kita sambut dengan mendukung dan membantu pemerintah untuk mewujudkan cita-cita bersama. Hal ini diungkapkan pula oleh Bupati Puncak Jaya, Hanock Ibo yang bahagia setelah mendengar kesungguhan para mantan anggota OPM yang kembali bergabung setelah upacara bendera dilaksanakan. “Mari kita bangun Puncak Jaya bersama-sama sehingga masyarakat dapat menikmati hasil pembangunan”, ucapnya.

Karena kita dialiri oleh darah yang sama, darah persatuan Indonesia, menjadikan kita saudara. Tak ada yang berbeda dari kita walaupun kita Papua, Jawa, atau daerah manapun di Indonesia, kita akan terus bersaudara karena kita orang Indonesia. Bahkan telah diwakilkan dengan Bhineka Tunggal Ika. Mereka yang mengatakan kita berbeda maupun kita bukan saudara hanyalah mereka yang takut melihat kita bersatu dan menjadi bangsa yang kuat, mereka hanya orang-orang yang iri akan keunikan kita, tentang indahnya persaudaraan kita, tentang banyaknya yang bisa kita lakukan apabila kita menjadi satu kesatuan yang utuh. Sikap iri yang mereka miliki tanpa kita sadari memberikan pengaruh buruk dan menjadikan kita saling menyakiti satu sama lain, saling berburuk sangka pada saudara sendiri dan melupakan kenyataan bahwa kita saudara sebangsa,  Bangsa Indonesia.

  

Yemima Wanggai

Warga Papua dan Pemerhati Masalah Papua

 


Komentar

Berita Terbaru

\