Perda LPD Harus Dicabut, Bukan Direvisi
Kamis, 01 September 2016
00:00 WITA
Denpasar
4721 Pengunjung
suaradewata
Denpasar, suaradewata.com - Polemik terkait payung hukum Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali, hingga kini masih gaduh. Karena itu, Forum Peduli Ekonomi Adat Bali (FPEAB) mencoba mengurai benang kusut ini menggelar Semiloka “Kedudukan dan Peran LPD Pasca UU LKM”, di Hotel Nikki Denpasar, 26 Agustus 2016 lalu.
"Hasil semiloka tersebut, bahkan sudah kami serahkan langsung kepada Ketua DPRD Bali Nyoman Adi Wiryatama, tanggal 29 Agustus kemarin," jelas Pembina FPEAB Njoman Gede Suweta, di Denpasar, Rabu (31/8/2016).
Menurut dia, untuk semiloka ini FPEAB menghadirkan lima narasumber, yang berkompeten di bidangnya masing-masing. Mereka adalah Hakim Mahkamah Konstitusi Dr Dewa Gede Palguna, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Prof. Nyoman Nurjaya, Peneliti Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Dr. AA Ketut Sudiana, Bendesa Agung MUDP Jro Gede Suwena Putus Upadesa, serta mantan Pimpinan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah Bali-Nusra Gde Made Sadguna.
Disebutkan, salah satu pokok pikiran penting yang dihasilkan dalam semiloka ini adalah, perlu segera mencabut Perda Nomor 8 Tahun 2002 Tentang LPD sebagaimana telah diubah dengan Perda Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Perda Nomor 8 Tahun 2002 Tentang LPD, dan terakhir diubah dengan Perda Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Perda Nomor 8 Tahun 2002 Tentang LPD, beserta segala produk hukum turunannya. Selanjutnya, Perda tersebut diganti dengan Perda Peralihan atau Perda yang bersifat rekognisi.
"Jadi bukan sekedar revisi, tetapi Perda LPD ini harus dicabut dan selanjutnya diganti dengan Perda Peralihan," ujar Suweta, yang juga Ketua Gerakan Pemantapan Pancasila Bali.
Dorongan ini, imbuhnya, sejalan dengan pandangan Dewa Gede Palguna, ahli hukum tata negara sekaligus Hakim Mahkamah Konstitusi, dalam paparannya pada semiloka ini. Palguna hadir sebagai narasumber, bahkan bukan dalam kapasitas sebagai pribadi, namun mewakili lembaga Mahkamah Konstitusi, guna membedah kedudukan hukum LPD sekaligus penataan LPD dari aspek hukum pasca UU LKM.
Dalam paparannya ketika itu, Palguna menegaskan bahwa keberadaan LPD pada dasarnya konstitusional, merujuk Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945, UU Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, serta Pasal 39 Ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Bahkan menurut Palguna, hanya ada 4 penafsiran serta kesimpulan terhadap Pasal 39 Ayat (3) UU LKM, dan tidak dapat ditafsirkan lebih dari itu.
Pertama, bahwa LPD, Lumbuh Pitih Nagari, dan lembaga-lembaga sejenis lainnya yang telah ada sebelum lahirnya UU LKM tetap diakui keberadaannya dan tetap berlaku. Kedua, bahwa LPD, Lumbuh Pitih Nagari, dan lembaga-lembaga sejenis lainnya yang telah ada sebelum lahirnya UU LKM yang diakui keberadaanya itu adalah lembaga-lembaga yang dibentuk berdasarkan hukum adat.
Ketiga, bahwa LPD, Lumbuh Pitih Nagari, dan lembaga-lembaga sejenis lainnya yang telah ada sebelum lahirnya UU LKM yang diakui keberadaanya itu tunduk pada hukum adat. Keempat, bahwa UU LKM tidak berlaku terhadap LPD, Lumbuh Pitih Nagari, dan lembaga-lembaga sejenis lainnya yang telah ada sebelum lahirnya UU LKM yang diakui keberadaanya itu.
Lalu bagaimana mengelola keberadaan LPD yang sepenuhnya tunduk pada hukum adat, apalagi hukum adat Bali termasuk dalam rumpun “hukum tidak tertulis” alias belum terkodifikasi? Menjawab pertanyaan ini, Palguna berpandangan bahwa guna melakukan kodifikasi, sebaiknya desa-desa adat dalam wadah Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali duduk bersama untuk menyepakati prinsip-prinsip umum dalam hukum adat Bali. Sedangkan yang berlaku khusus di tingkat desa adat (desa mawacara) tetap dibiarkan berlaku setempat.
Tentang peran Pemprov Bali, diakui Palguna dalam pandangannya, tetap dibutuhkan termasuk dalam hal membuat Perda. Hanya saja, Perda dimaksud lebih bersifat sebagai rekognisi atau penegasan akan keberadaan LPD. Penting bagi Pemprov Bali membuat Perda yang bersifat rekognisi terkait LPD, mengingat desa adat itu wilayahnya tidak selalu dibatasi oleh wilayah administratif satu kabupaten/kota.
Palguna juga berargumen, Perda yang bersifat rekognisi itu sangat dibutuhkan. Sebab hal itu berkaitan erat dengan pembuktian syarat “diatur dalam undang-undang” sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 maupun UU Mahkamah Konstitusi.
Selain Palguna, demikian Suweta, narasumber lainnya dalam semiloka tersebut yakni Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Prof Nyoman Nurjaya, juga melontarkan hal serupa. Nurjaya yang juga Peneliti Kesatuan Masyarakat Hukum Adat itu menegaskan, berlakunya UU LKM secara otomatis menggugurkan Perda LPD. Karena itu, Nurjaya mendesak Pemprov Bali tak lagi mengulur-ngulur waktu untuk menganti Perda LPD dengan perda baru yang selaras dengan UU LKM.
Menurut Nurjaya, tidak boleh ada kevakuman hukum, menyusul sudah diundangkanya UU LKM. Karena itu, pemerintah dalam konteks bernegara harus segera menyesuaikan dengan UU LKM. Yang harus dibuat adalah Perda baru, bukan Perda LPD yang lama direvisi. Perda LPD harus diganti karena sudah bertentangan dengan pengakuan negara bahwa LPD tunduk pada hukum adat.
Bagi Nurjaya, menjadi kesalahan yang sangat fatal apabila Pemprov Bali turut serta mengatur LPD secara spesifik. Pemerintah tidak bisa mengatur urusan teknik maupun operasional LPD. Pemerintah hanya mengatur secara umum saja, karena itu diperlukan Perda Peralihan LPD, setelah Perda LPD yang ada saat ini dicabut. san/hai
Komentar