Ungkapan Penyesalan Mantan Teroris Merujuk Al Quran dan Hadits
Jumat, 08 April 2016
00:00 WITA
Nasional
4641 Pengunjung
Opini, suaradewata.com- Pada 14 januari 2016, masyarakat Indonesia yang lagi ‘adem ayem’, khususnya yang tinggal di ibu kota kembali dikejutkan dengan sebuah tragedi yangat tragis setelah sebuah bom bunuh diri yang dilakukan oleh kelompok teroris ISIS itu kembali mengoyak ketenangan masyarakat. Sedikitnya enam ledakan bom dan serentetan peristiwa penembakan terhadap masyarakat terjadi pada dua lokasi di sekitar Palza Sarinah dan jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat dan mengakibatkan mengakibatkan 9 orang tewas dengan kondisi yang sangat mengenaskan serta puluhan lagi luka-luka.
Serangan di Sarinah tersebut merupakan serangan pertama setelah Bom Mega Kuningan 2009 yang meledakkan hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton di kawasan Mega Kuningan, kota Jakarta Selatan pada hari Jumat, 17 Juli 2009. Bom Jakarta 2009yang menewaskan 9 orang termasuk dua pelaku merupakan anggota Jemaah Islamiyah, sedangkan organisasi Jemaah Islamiyah sendiri merupakan organisasi terorisme di bawah al-Qaedayang bertujuan menyatukan Indonesia, Malaysia, dan wilayah selatan Filipinake dalam sebuah negara Islam. Maka sejak itulah masyarakat Indonesia mengenal dua kelompok teroris yang mengatasnamakan agama Islam, yaitu kelompok Al Qaeda dan Kelompok ISIS.
Beberapa mantan pentolan Jamaah Islamiyah yang berafiliasi ke Al Qaeda mengungkapkan penyesalannya dengan cara membantu pihak aparat keamanan di Indonesia untuk memerangi terorisme yang selama ini semakin seporadis dan tidak terkendali bahkan cenderung untuk kepentingan-kepentingan politik kelompok tertentu.
Dalam sebuah kesempatan, Ali Fauzy (napi teror bom Bali 2002/mantan anggota JI) saudara dari tereksekusi mati alm. Amrozy dkk yang juga merupakan salah seorang pengasuh ponpes Al Islam, Solokuro, Lamongan, Jawa Timur mengungkapkan bahwa munculnya kelompok terorisme yang berpaham radikal merupakan bagian dari semangat membangun sebuah Daulah Islamiyah karena kerinduan akan adanya negara Islam yang terbebas dari penjajahan Yahudi dan negara-negara Kafir. Di Indonesia paham Daulah Islamiyah ini disebarkan kembali oleh Aman Abdurrahman yang divonis delapan tahun penjara pada 2010karena terlibat pelatihan militer di Pegunungan Jalin Jantho Aceh dan berafiliasi ke ISIS.
Demikian pula halnya menurut Abu Tholut alias Imron Baehaqi (mantan anggota markaziah JI dan juga mantan ketua Mantiqi III JI) bahwa Khilafah ISIS itu aliran khawarij yang suka melakukan takfiri (mengkafirkan kelompok yang bukan kelompoknya) dan bukan ahlus sunah wal jamaah. Di dalam ISIS sendiri telah terjadi penolakan oleh sebagian kelompoknya sendiri yang menamakan Jhabat al Nusrah (JN) yang menuduh ISIS dibawah kendali Amerika bahkan karenanya komandan JN mereka bunuh. Hal tersebut dibenarkan oleh Yusuf (terpidana terorisme dalam kasus bom Sri Rejeki Semarang 2003 dan divonis 10 tahun/tangan kanan Abu Thalut) berpendapat bahwa kelompok ISIS yang menyatakan memperjuangkan Khilafah Islamiyah hanya bualan belaka padahal sesungguhnya mereka hanya berjuang untuk kepentingan kelompoknya sendiri yang didukung negara tertentu.
Tuduhan keberpihakan Amerika terhadap ISIS oleh sebagian anggotanya nampaknya semakin dikuatkan setelah pada hari Senin, 10 Desember 2012, juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Victoria Nuland, memberikan sebuah pengumuman yang memasukkan kelompok JN (Jabhat Al-Nushra) sebagai organisasi teroris. Dia menyatakan bahwa kelompok tersebut bertanggung jawab atas 600 serangan di beberapa kota satu tahun belakangan ini. Akhirnya, Jabhat Nushra memutuskan untuk menginduk kepada kelompok al-Qaeda pimpinan Ayman az-Zawahiri.
Sementara itu, Ali Imron (Napi Bom Bali 2002/mantan anggota Jamaah Islamiyah/Al Qaeda) ahli perakit bom yang mengaku mampu membuat bom hanya dari bumbu dapur itu menyatakan bahwa ada perbedaan misi antara Al Qaeda dengan ISIS meskipun sama-sama melakukan aksi terorisme, berlawanan dengan ISIS yang mengkafirkan orang di luar kelompoknya, Al Qaeda menentukan lawannya secara jelas dan tidak mengkafirkan pemerintah atau masyarakat umum. Namun apapun alasannya, sesungguhnya aksi terorisme memiliki tujuan untuk menebarkan ketakutan di antara orang yang dianggap kafir atau di luar kelompoknya, karena menumbuhkan ketakutan dianggap amal saleh bagi mereka.
Oleh karena itu, menurut Ali Imron tentang sikap pemerintah dan masyarakat yang menyatakan tidak takut dengan teroris perlu mendapat apresiasi. Sebaliknya, anggapan sebagaian masyarakat, elit politik, tokoh masyarakat dan pengamat bahwa aksi terorisme adalah ‘rekayasa’ atau ‘pengalihan isu’ akan menguntungkan pihak teroris karena akan menumbuhkan ketidak percayaan masyarakat kepada polisi dan aparat keamanan, padahal kekacauan dan ketakutan ini adalah tujuan dari aksi kelompok teroris.
Rasa penyesalan disertai itikad baik para mantan teroris untuk membantu pemerintah dalam mencegah aksi terorisme semacam itu mulai terungkap, setelah mereka menyaksikan penderitaan para korban yang tidak berdosa, bahkan misi yang diyakini mereka sebagai jihad ternyata dimanfaatkan oleh kepentingan kelompok lain yang justeru ingin mereka perangi, atau barangkali mereka sendiri mulai ragu akan siapa yang menjadi kawan ataupun lawan, dan seolah-olah semua pihak tidak lagi mampu melihat persoalan akidah ini secara jernih.
Bahkan yang terjadi saat ini di Suriah, dengan mengatasnamakan Agama Islam antara kelompok ISIS dan kelompok pemerintah Suriah mulai saling memamerkan postingan eksekusi mati terhadap tawanan-tawanan perang mereka secara sadis di media sosial yang justeru menumbuhkan kesan betapa sadis dan kejamnya orang-orang yang mengaku tengah berjuang di bawah panji-panji Agama Islam tersebut.
Padahal, sesungguhnya Agama Islam tidak mengenal dan tidak mengajarkan sifat radikal dan ektrim, Islam sangat menghormati jiwa seseorang. Islam mengajarkan kita untuk berdakwah secara santun, karena Islam yang disebarkan Nabi membawa misi perdamaian dan bersifat universal ”rahmatan lil alamin”, berbagi kasih sayang ke semesta alam, tidak hanya perdamaian dan kasih sayang kepada umat Islam saja, namun ke semesta alam, lintas aliran, lintas oraganisasi, lintas negara, lintas etnis dan lintas agama. Sebagaimana tertulis dalam Al Qur an yang harus menjadi pegangan bagi semua umat yang mengaku beragama Islam, dalam Surat Al-Anbiya ayat 107. Allah SWT berfirman : “Dan kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad) melainkan untuk menyebarkan kasih sayang terhadap semesta alam”
Sejarah panjang peradaban manusia selalu diwarnai konflik dari level komunitas terkecil hingga komunitas terbesar yang disebabkan dan dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, motif dan kepentingan. Dalam hal ini, tentunya dibutuhkan upaya untuk merekonsiliasi dan memperbaiki hubungan antara pihak-pihak terkait demi terciptanya kembali hubungan dan kehidupan yang harmonis dan penuh kedamaian. Al-Qur’an sudah menegaskan pada surat Ali Imron ayat 103 : “Dan berpegang teguhlah kalian semua kepada tali agama Allah, dan janganlah kalian bercerai berai,dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu, ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu dengan nikmat-Nya kalian menjadi bersaudara”.
Dan juga, konsep menengahi konflik merupakan salah satu ajaran agama Islam, dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menerangkan tentang konsep menengahi konflik yang terjadi antara dua kelompok orang mukmin yang bertikai (Surat Al-Hujarat ayat 9) yang berisi “Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
Surat tersebut dikuatkan dengan hadits Nabi Muhammad SAW terdapat beberapa hadits yang menyeru dan menerangkan tentang Islah, diantaranya adalah hadits riwayat Abu Darda’, bahwa Rasulullah SAW bersabda ”Maukah kalian saya beritahu suatu hal yang lebih utama daripada derajat puasa, sholat dan sedekah?. Para sahabat menjawab : tentu ya Rasulullah. Lalu Nabi bersabda : hal tersebut adalah mendamaikan perselisihan, karena sifat perselisihan itu membinasakan” (HR. Abu Daud).
Jadi, perilaku teror yang zalim serta takfir Khawarij yang merasa benar sendiri akan sangat bertentangan dengan konsep “Rahmatan Lil Alamin” sebagaimana telah digariskan dalam Kitab Suci Agama Islam Al Quran. Maka, sudah selayaknya pribadi-pribadi penegak panji-panji Islam yang telah menjadi bagian dari kelompok-kelompok terorisme ataupun yang mendukung sikap dan perilaku radikalisme tersebut untuk kembali kepada garis-garis yang telah ditetapkan dalam Al Quran dan Hadits, sebagaimana dilakukan oleh para mantan teroris yang terdahulu.
Seperti yang diungkapkan oleh Ali Imron, bahwa belakangan disadari bahwa sesungguhnya aksi terorisme itu sangat memalukan, sebab jika pelaku memposisikan sebagai muslim mujahid seharusnya mereka menjadi pelopor untuk berbuat kebajikan, saling menolong dan memberi solusi terhadap permasalahan umat. Kalau mereka sebut jihad, jihad itu adalah perang, yang berarti harus ada musuh bukan dengan menyerang dan melukai bahkan membunuh orang yang tidak tahu apa-apa.
Dengan ungkapan-ungkapan penyesalan mereka tersebut, semoga Agama Islam tidak lagi dikotori oleh ambisi-ambisi kepentingan kelompok-kelompok yang zalim, serta senantiasa menjadi penghulu dalam menebarkan prinsip “Rahmatan lil Alamin” di muka bumi ini. Semoga.
Galih Maulana, penulis adalah Mahasiswa FTIP Univ Pajajaran, Bandung, tinggal di Bandung
Komentar