PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Jalan Anyelir I, Nomor 4A, Desa Dauh Peken, Kec. Tabanan, Kab. Tabanan, Bali

Call:0361-8311174

info@suaradewata.com

Kelian Adat Panji: Dari Taruna Goak Hingga Megoak-Goakan

Kamis, 10 Maret 2016

00:00 WITA

Buleleng

8040 Pengunjung

PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

suaradewata.com

Buleleng, suaradewata.com – “Megoak-goakan” merupakan salah satu jenis permainan yang menjadi ciri khas di Desa Panji, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, setiap rangkaian perayaan Tahun Baru Caka yang dirayakan umat Hindu di Bali dengan sebutan “Nyepi”. Permainan ini bukan sembarang permainan melainkan memiliki nilai sejarah besar terkait dengan Raja Buleleng yakni Anglurah Ki Barak Panji Sakti yang pernah memimpin Buleleng.

“Dulunya Taruna Goak, merupakan nama pasukan Raja Panji Sakti yang menggempur Blambangan (Jawa Timur). Ada 40 orang jumlahnya yang sebelum berperang menyebrangi lautan hingga Blambangan, dilakukan permainan terlebih dahulu di Pura Pejenengan Panji yang menjadi tempat awal beliau bertahta,” ujar Gusti Nyoman Tiga, Kelian Desa Pakraman Panji, Kamis (10/3).

Orang-orang yang diajak bermain kala itu adalah pasukan sang Raja yang lanjut setelah melakukan permainan lalu berangkat ke Blambangan untuk bertempur. Pasukan yang berangkat tersebut yang konon terkenal dengan nama Taruna Goak dengan jumlah 40 orang.

Permainan tersebut membentuk barisan orang yang berjejer ke belakang dan yang berada dibelakang merangkul atau memegang pinggang pemain yang ada di depannya hingga membentuk barisan yang memanjang ke belakang. Ada bagian kepala yang bertugas melindungi satu orang yang ada di bagian belakang dan dikenal dengan istilah “Kacang”.

Satu orang berada di luar barisan dan berhadapan dengan barisan paling depan. Satu yang berada diluar barisan kemudian disebut “Goak” atau burung Gagak. Goak inilah yang nantinya akan mengejar seorang Kacang hingga berhasil didapat. Tugas orang yang berada pada barisan paling depan adalah menghalangi sang Goak untuk mengambil sang Kacang.

Menurut Tiga, permainan tersebut setiap tahun dipentaskan oleh masyarakat Desa Panji di Halaman Pura Pejenengan. Dimana, dari awalnya berlangsung tepat pada jatuhnya Tahun Baru Caka yang merupakan tahun baru bagi umat Hindu dan dikenal dengan hari raya “Nyepi”.

“Dulu dilakukan dua hari berturut-turut mulai sejak Sipeng (Sebutan untuk hari Nyepi) hingga Ngembak Geni (Sehari setelah Nyepi). Itu pun dilakukan tidak boleh di luar dari areal Pura Pejenengan. Dan ada Salip (Sekarang bernama Pecalang yakni keamanan adat, Red) yang menjaga dari batas desa Selatan yakni Puncak Wanagiri hingga ujung Utara yakni kawasan Pantai Penimbangan. Bagi yang melanggar (Mempermainkan diluar kawasan Pura Pejenengan Panji) maka akan dikenakan saksi adat,” kata Tiga.

Namun, lanjutnya, seiring perkembangan jaman dan daya tariknya yang mulai memikat pengunjung dari luar Desa Panji, maka kawasan Pura Pejenengan mulai dirasa sempit. Permainan tersebut akhirnya berpindah ke lapangan Desa Panji yang berada tepat di pinggir jalan sekitar 400 meter di sebelah Utara Pura Pejenengan.

Hingga kini, permainan tersebut pun diakuinya telah banyak menghilangkan wujud lamanya. Namun, lanjut Tiga, yang dilakukan saat ini adalah bentuk permainan biasa yang merupakan bagian upaya masyarakat di Desa Panji untuk menjaga suatu tradisi serta sejarah keberadaan permainan tradisional.

“Sekarang biar lebih seru dan menarik, maka ada media air yang digunakan. Permainan tersebut dilakukan di atas air dan di lapangan terbuka sehingga banyak penonton baik di desa sendiri maupun dari luar desa bahkan wisatawan mancanegara,” kata Tiga.

Untuk menjadikan permainan tersebut lebih hidup, tidak saja dimainkan di atas air semata. Melainkan para penonton yang berada di luar lapangan pun turut di tarik ke dalam serta ikut masuk pada barisan. Permainan tersebut diikuti oleh orang-orang dari berbagai jenis umur. Mulai anak-anak hingga orang tua yang kondisi fisiknya masih mampu.

Permainan yang cenderung dimainkan oleh kaum laki-laki ini kemudian bertambah meriah ketika berhasil menarik penonton perempuan atau lawan jenisnya. Namun, dalam permainan tersebut tetap menghargai satu sama lain serta tidak ada satu pun penonton yang marah akibat ditarik peserta untuk mengikuti permainan. adi

“Namanya bukan lagi menjadi Taruna Goak, karena sekarang lebih dikenal dengan permainan ‘megoaok-goakan’. Ini hanya ada di Desa Panji dan tidak ada di tempat lainnya karena memang muncul pertama dari Desa Panji,” pungkas Tiga menegaskan. adi


Komentar

Berita Terbaru

\