PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Jalan Anyelir I, Nomor 4A, Desa Dauh Peken, Kec. Tabanan, Kab. Tabanan, Bali

Call:0361-8311174

info@suaradewata.com

Imbas Sengketa Adat, Puluhan Warga Dinas Di Buleleng “Dikucilkan”

Minggu, 06 Maret 2016

00:00 WITA

Buleleng

7849 Pengunjung

PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Buleleng, suaradewata.com – Sekitar 24 Kepala Keluarga yang tinggal di wilayah Dusun Batu Dinding, Desa Pegadungan, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, mendapat perlakuan diskriminasi dalam pelayanan proses pembuatan akta perkawinan. Hal tersebut diakui Perbekel Desa Pegadungan, Ketut Sudiara, ketika dikonfirmasi suaradewata.com, Minggu (6/3).

“Mereka di ‘kapekang’ (istilah dalam adat Bali untuk warga yang dikucilkan, red) oleh Desa Adat Batu Dinding dan pelayanan administrasi hanya diberlakukan bagi warga yang membuat akta perkawinan. Hal itu disebabkan Kelian Adat Batu Dinding yang tidak mau menjadi saksi dalam perkawinan adat warga tersebut,” ujar Sidiara.

Menurut Sudiara, diskriminasi tersebut hanya mengkhusus pada proses pembuatan akta perkawinan yang menjadi syarat sebelum mendapat pengesahan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Buleleng.

Dikatakan, masalah tersebut sudah berlangsung sejak tahun 2001 dan berkaitan dengan sengketa perebutan lahan yang masing-masing di klaim oleh Desa Adat Batu Dinding dan warga Tempekan Kepakisan yang berada di Dusun Batu Dinding.

Dari keterangan yang disampaikan Sidiara, sudah beberapa kali dilakukan proses mediasi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Warga yang dikucilkan itu kemudian diminta untuk menyerahkan tanah seluas 1,1 Hektare yang diklaim menjadi milik Desa Adat Batu Dinding.

“Berulangkali kami tawarkan agar kembali masuk ke Desa Adat Batu Dinding karena itu wajib. Tidak memisahkan diri dan membentuk Banjar Adat yang dalam awig-awig (Hukum Adat, red) di kawasan tersebut itu tidak dibenarkan,” paparnya.

Sidiara yang sebelumnya juga menjabat sebagai Kelian (Kepala) Desa Adat Batu Dinding mengaku perlakuan khusus terhadap 24 warga tersebut memang berkaitan dengan sengketa tanah adat yang kini sedang dalam proses hukum banding di Pengadilan Tinggi Bali.

Sementara, sebelumnya sudah pernah ada gugatan yang telah mendapat keputusan dari Mahkamah Agung dan memenangkan pihak Desa Adat Batudinding. Namun, lanjut Sudiara, muncul ketidak puasan dari sekelompok warga yang dikucilkan tersebut hingga kembali melakukan perlawanan atas eksekusi yang menjadi dampak kekalahan warga di Dusun Batudinding tersebut.

Menurut Sudiara, wilayah adat Batudinding meliputi Tempekan (Penamaan wilayah dibawah pemerintahan Desa Adat di Bali, red) Babakan, Tempekan Pakisan atau Lebah, Tempekan Panti, dan Tempekan Lobong. Wilayah adat di Tempekan Pakisan sebelumnya terpisah dengan Tempekan Lebah yang selanjutnya disatukan menjadi satu teretorial adat dibawah Desa Adat Batudinding.

Sedangkan, di wilayah pemerintahan dinas Desa Pegadungan, terdapat tiga pemerintahan adat yang dikenal dengan nama Desa Adat Pegadungan, Desa Adat Batu Dinding, dan Desa Adat Pasut Katiasa.

Disisi lain, Kelian Banjar Adat Lebah atau yang menjadi wilayah dari Tempekan Pakisan yakni Putu Suwela ketika dikomfirmasi terpisah mengaku kesulitan bukan hanya sebatas pembuatan akta perkawinan saja.

“Jika tidak punya akta kawin, maka jelas tidak bisa bikin akta kelahiran anak. Dan banyak anak-anak kami kemudian sulit mencari pekerjaan yang membutuhkan persyaratan akta kelahiran dalam rekruitmennya,” ujar Suwela.

Menurut Suwela, sikap diskriminasi dalam hal pelayanan administrasi pemerintahan dinas tersebut dirasakan warga hingga bertahun-tahun. Bahkan, sudah sebanyak 13 Kepala Keluarga yang akhirnya harus pindah domisili dan tempat tinggal agar bisa mendapatkan pelayanan yang menjadi hak setiap warga negara di Indonesia.

Ia mengakui perlakuan khusus bagi warganya tersebut merupakan bentuk sentimen adat atas penolakan warganya yang tidak mau masuk menjadi warga adat di Desa Adat Batu Dinding.

“Perbekel (Kepala Desa Dinas, red) di Desa Pegadungan sebelumnya menjabat sebagai Kelian Desa Adat Batu Dinding. Jadi permasalahan dinas dan adat kemudian dicampuradukan menjadi satu. Padahal, substansi permasalahan sebetulnya berbeda antara perkara dengan hak warga negara,” kata Suwela.

Ia mengaku pernah menyampaikan permasalahan terkait dengan diskriminasi pelayanan administrasi pemerintahan tersebut kepada Camat Sukasada, I Made Dwi Adnyana. Namun, lanjutnya, dijanjikan akan dilakukan mediasi kembali setelah hari raya Nyepi yang dirayakan seluruh umat Hindu khususnya di Bali.

Adnyana yang dikomfirmasi terpisah membantah keterangan yang disampaikan Suwela terkait permintaan penyelesaian masalah diskriminasi layanan yang menjadi hak setiap warga negara itu.

“Memang pernah menghadap saya, tapi bukan untuk masalah itu (Perlakuan diskriminasi pelayanan pemerintahan dinas, red). Karena yang diadukan kepada saya hanya permasalahan pembuatan prona. Tapi nanti setelah hari raya akan dilakukan pertemuan dengan warga untuk menyelesaikan masalah tersebut,” pungkas Adnyana.

Tidak dilayaninya warga untuk proses pembuatan akta perkawinan tersebut berawal dari proses gugat ginugat tanah adat di Desa Pegadungan. Desa Adat Batu Dinding yang teretorial pemerintahan dinas berada di Desa Pegadungan mengklaim bahwa tanah yang diakui kepemilikannya oleh sekelompok masyarakat di Banjar Adat Lebah (Wilayah Tempekan Pakisan) merupakan milik Desa Adat Batu Dinding.

Selain itu, permasalahan adat yang muncul adalah terkait dengan istilah penamaan wilayah yang juga dirubah dari Tempekan Pakisan menjadi Banjar Adat Lebah. Dimana, dalam awig-awig Desa Adat Batu Dinding tidak ada istilah Banjar Adat melainkan hanya istilah Tempekan yang diakui keberadaanya dalam pemerintahan adat setempat.adi


Komentar

Berita Terbaru

\