PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Jalan Anyelir I, Nomor 4A, Desa Dauh Peken, Kec. Tabanan, Kab. Tabanan, Bali

Call:0361-8311174

info@suaradewata.com

Memaknai Kesucian Idul Fitri

Senin, 06 Juli 2015

00:00 WITA

Nasional

2551 Pengunjung

PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Opini, suaradewata.com - Perayaan Hari Raya Idul Fitri merupakan momen sangat penting bagi umat Islam di seluruh belahan dunia. Hari Raya Idul Fitri ini dilakukan setelah umat Islam diseluruh dunia berpuasa selama sebulan pada bulan Ramadhan.

Dari sisi etimologis Idul Fitri terdiri dari dua kata. Pertama, kata ‘id yang dalam bahasa Arab bermakna `kembali’, dari asal kata ‘ada. Ini menunjukkan bahwa Hari Raya Idul Fitri ini selalu berulang dan kembali datang setiap tahun. Ada juga yang mengatakan diambil dari kata ‘adah yang berarti kebiasaan, yang bermakna bahwa umat Islam sudah biasa pada tanggal 1 Syawal selalu merayakannya (Ibnu Mandlur, Lisaanul Arab).

Namun jika dimaknai secara sempurna lebaran (dalam ajaran Islam) bukan hanya karena perputaran dan siklus secara berulang-ulang datangnya, tapi mesti merujuk pada kata selanjutnya yaitu Al Fithr. Al Fithr inilah sesungguhnya inti dari lebaran dalam ajaran  Islam, sehingga perlu kita cermati dan kita kritisi hakekat maknanya secara mendalam. Karena kesalahan dalam memahaminya akan berakibat kegagalan dalam menyelami makna terdalam yang ada di dalamnya.

Istilah Al Fithr pada dasarnya terkait erat dengan konsep kesucian pembawaan (Al Fithrah) dalam ajaran Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam untaian mutiara  kalam Nabi Muhammad SAW, yaitu :Kullu Mauludin Yuuladu ‘alal Fitrah yang artinya setiap manusia dilahirkan dari perut ibunya dalam keadaan  suci dan bersih.

Konsep fitrah yaitu suatu pembawaan manusia berupa ajaran tauhid ketuhanan yaitu penyaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Sehingga secara alami/natural manusia itu bersifat hanif (mencari yang benar/kebenaran).

Maka dengan datangnya Idul Fitri  tahun ini sebenarnya merupakan momen yang tepat untuk merefleksikan diri (secara personal) tentang pembawaan diri kita yang fithrah dan hanif. Dari sini kemudian diharapkan akan tumbuh sikap instrospeksi secara obyektif sehingga gunungan karang-karang kedloliman yang telah menodai kefithrahan dapat tersucikan secara bersih.

Untuk menggapai fithrah dan hanif tidak bisa terlepas dari pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadhan yang telah kita laksanakan kemarin.  Banyak manusia yang melakukan puasa di bulan Ramadlan tapi (tidak sedikit) dari mereka hanya mendapatkan lapar dan haus, sebagaimana sabda Rasul : ”Kam min shaimin laisa lahu min shiyamihi illalju’i wal ‘athasyi, berapa banyak dari mereka yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa, kecuali rasa lapar dan haus.”

Jika kita pahami makna hadis di atas secara mendalam dapat kita ambil suatu kesimpulan bahwa dalam aktifitas puasa yang diutamakan bukan hanya pada keadaan lapar dan haus saja, tapi yang lebih penting dan utama  adalah kemampuan mengendalikan diri (hawa annafs), Sehingga prosesi puasa yang hanya mengutamakan rasa lapar dan haus saja tak akan bermakna sama sekali secara ruhaniyah.

Oleh karena itu  untuk memahami hakekat dari puasa perlu kita lihat kembali konsep dasar dari puasa itu sendiri yaitu denga tujuan “la’allakum tattaqun” supaya kita menjadi orang-orang yang bertakwa (Al Baqarah :183). Dimana Srat Al Baqarah ayat 183 tersebut berarti Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Secara vertikal (doktrin KeTuhanan), taqwa bermakna suatu sikap penghambaan diri pada Allah dengan menjalankan segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya secara kontinyu. Sedangkan secara horisontal (doktrin kemanusiaan) Taqwa bermakna suatu sikap hidup yang dapat berdampingan dengan lingkungannya secara damai dan tentram tanpa ada persengketaan dan sebagainya. Sedangkan makna taqwa sejati adalah kemampuan mengintegrasikan kedua makna taqwa di atas ke dalam diri setiap individu secara totalitas (kaffah).

Dengan pemahaman demikian berarti puasa dapat dipahami sebagai proses menuju kesejatian diri, menuju taqwa. Karena lewat  aktivitas puasa inilah  tercipta Riyadlotun Nafs (olah jiwa). Dengan olah jiwa ini secara berkelanjutan akan dapat mengokohkan Himyah (penjagaan) dan Junnah (perlindungan) diri manusia dari  dorongan-dorongan nafsu syahwati hayawan (hedonisme), kenikmatan-kenikmatan sesaat, hasrat pengrusakan, penjarahan, perampasan dan rangsangan -rangsangan untuk menindas serta sikap-sikap non fithriyah lainnya. Karena hakekat dari puasa adalah Imsak dan Wara’ yaitu pengendalian diri serta penjagaan diri dari perbuatan-perbuatan mungkar.

Mengacu pada uraian diatas dapat dipahami bahwa sesungguhnya ibadah puasa yang baru saja kita laksanakan merupakan suatu proses transformasi spiritual. Artinya bahwa puasa merupakan suatu proses membangun dan mendidik diri sehingga terwujud perubahan-perubahan dalam pola tingkah lakunya secara positif (secara kwalitas maupun kwantitas) untuk meraih derajat muttaqin / orang yang bertaqwa.

Selain itu, Idul Fitri juga harus mampu dimaknai sebagai momentum untuk memperkokoh nilai-nilai kebangsaan, rasa cinta tanah air, bangsa dan negara. Setelah sebulan penuh menahan rasa haus, lapar, emosi dan amarah tentunya diharapkan meneguhkan rasa saling menghormati antar sesama, mamahami perbedaan dan keikhlasan untuk berbagi kepada sesama yang membutuhkan. Dengan demikian, diharapkan pasca Idul Fitri di tahun ini kita tidak akan lagi menemukan adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga, pertengkaran antar tetangga, bahkan perang antar suku, termasuk terjadinya keributan antar pemeluk beragama. Sehingga seluruh elemen bangsa dapat saling bahu membahu bekerja membangun bangsa demi keutuhan NKRI. Semoga...

Jhoni Dimas Hendriawan : Penulis adalah penggiat LSM, aktif pada lembaga -lembaga swadaya masyarakat dibidang pengembangan pendidikan.


Komentar

Berita Terbaru

\