Paradigma Tentang Subak Harus Diubah
Minggu, 20 September 2015
00:00 WITA
Denpasar
2038 Pengunjung

Denpasar, suaradewata.com - Selama ini, ada paradigma yang salah tentang subak di Bali. Subak yang identik dengan pertanian justru sering dipandang dari dimensi budaya.
Kesalahan cara pandang ini akhirnya berkontribusi pada terancamnya eksistensi subak. Apabila paradigma ini dibiarkan, maka bukan mustahil jika ke depan subak hanya menjadi sejarah masa lalu Bali.
"Karena dipandang dari dimensi budaya, maka subak dijadikan alat atau sarana promosi pariwisata Bali," tutur tokoh masyarakat Bali, Njoman Gede Suweta, di Denpasar, Minggu (20/9).
Jika ingin subak terus lestari, Suweta mendorong agar paradigma tentang subak ini diubah. Subak, kata mantan Wakapolda Bali itu, harus dipandang sebagai organisasi pertanian yang menjadi sumber kehidupan rakyat Bali. Artinya tanpa subak, rakyat Bali tidak makan aliasan mati.
"Oleh karenanya, subak harus diletakan sebagai subordinasi Dinas Pertanian dalam pembinaannya, bukan malah di bawah pembinaan Dinas Kebudayaan," ujar Suweta.
Selama ini, diakuinya, pihak-pihak terkait kurang memahami subak sebagai sistem. Sistem ini terdiri dari setidaknya tujuh subsitem. Ketujuh subsistem itu antara lain subsistem irigasi, area atau lahan, keanggotaan, kepengurusan, organisasi, awig-awig (regulasi) dan subsistem spiritual.
"Semua subsistem itu harus menjadi satu kesatuan yang utuh. Hanya saja pemahaman tentang itu mulai pudar, karena kuatnya pengaruh budaya 'jalan pintas' pada pola pikir rakyat Bali saat ini," ucapnya.
Ketua Gerakan Pemantapan Pancasila (GPP) Bali ini menambahkan, selain adanya paradigma yang salah, ada pula persoalan lain yang menjadi ancaman subak selama ini. Salah satunya, karena otonomi subak justru diintervensi oleh sistem pemerintahan, sehingga subak dipecah-pecah sesuai dengan wilayah administrasi pemerintahan.
Sebagai akibatnya, sangat sering muncul kebijakan yang berbeda antara wilayah hulu dan hilir subak. Ini terjadi karena masing-masing berada pada wilayah administrasi pemerintahan yang berbeda.
"Ini jelas-jelas sangat merugikan pembinaan dan produktivitas subak. Seharusnya pembinaan subak terpusat di provinsi, karena banyak subak berada pada dua atau tiga wilayah kabupaten," beber Suweta.
Ancaman lainnya, kata dia, selama ini keberpihakan kepada subak hanya bersifat politis. Sebab, subak lebih banyak untuk kepentingan promosi atau kampanye oknum tertentu. "Tidak ada keberpihakan murni yang diarahkan untuk melestarikan subak," pungkasnya.san
Komentar