RUU KUHAP Mampu Optimalkan Penerapan Hukum Secara Terarah
Kamis, 24 April 2025
15:23 WITA
Nasional
1059 Pengunjung

RUU KUHAP
Oleh: Abil Hutabarat )*
Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) merupakan salah satu produk legislasi terpenting dalam periode pemerintahan saat ini. Sebagai hukum acara pidana, KUHAP menjadi instrumen utama yang mengatur mekanisme penegakan hukum pidana dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga putusan pengadilan. Oleh karena itu, revisi KUHAP tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga menyentuh aspek fundamental sistem peradilan pidana Indonesia. Upaya pembaruan ini menjadi krusial, terlebih setelah pengesahan KUHP nasional yang akan berlaku pada Januari 2026. Kehadiran KUHAP baru diharapkan menjadi pelengkap yang sejalan dengan semangat pembaruan hukum pidana secara menyeluruh.
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menegaskan bahwa penyusunan RUU KUHAP kali ini dilakukan dengan pendekatan partisipatif dan transparan. Ia menyebut bahwa DPR telah menggelar sejumlah forum terbuka, termasuk seminar daring dengan lebih dari tujuh ribu peserta, delapan kali penyerapan aspirasi, dan diskusi dengan berbagai pihak, termasuk Mahkamah Agung, akademisi, organisasi masyarakat sipil, serta para advokat. Klaim ini sekaligus membantah tudingan sebagian pihak bahwa proses legislasi dilakukan secara tertutup. Habiburokhman menyatakan pentingnya kolaborasi publik demi menghasilkan hukum acara pidana yang lebih adil, akuntabel, dan berpihak pada hak asasi manusia.
Salah satu aspek penting dari revisi KUHAP ini adalah penguatan hak-hak dasar dalam sistem peradilan pidana, khususnya bagi tersangka dan terdakwa. Dalam draf terbaru, tersangka diberikan hak lebih cepat untuk mendapatkan pendampingan penasihat hukum serta diberikan ruang untuk mengajukan keberatan apabila mengalami intimidasi selama proses pemeriksaan. Inovasi ini sejalan dengan semangat hukum modern yang menempatkan perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagai pilar utama sistem peradilan.
Tak hanya itu, perlindungan terhadap saksi dan korban juga menjadi fokus dalam revisi KUHAP. Fakta bahwa KUHAP 1981 tidak memberikan pengaturan yang tegas terhadap hak-hak saksi menunjukkan adanya ketimpangan perlindungan hukum. Dalam praktiknya, tidak sedikit saksi yang mengalami intimidasi atau tekanan emosional karena tidak mendapatkan pendampingan hukum. KUHAP baru mengatur agar saksi dan korban dapat didampingi oleh penasihat hukum, bahkan memberikan ruang bagi advokat untuk menyatakan keberatan jika terjadi tindakan intimidatif selama pemeriksaan. Ini merupakan langkah progresif yang menunjukkan keberpihakan terhadap prinsip keadilan prosedural.
Lebih jauh, penguatan peran advokat dalam KUHAP baru merupakan bentuk konkret dari upaya menyeimbangkan posisi semua aktor dalam sistem peradilan pidana. Jika sebelumnya advokat hanya diperbolehkan mendampingi tersangka, kini kehadiran mereka juga dibutuhkan dalam mendampingi saksi dan korban. Dengan demikian, proses hukum tidak lagi bersifat timpang atau berpihak pada institusi penegak hukum semata. KUHAP baru juga dirancang untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam proses pemeriksaan, di antaranya dengan mewajibkan penggunaan kamera pengawas dalam ruang pemeriksaan.
Sementara itu, Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEDPHI), Abdul Chair Ramadhan, menyatakan bahwa revisi KUHAP memang sudah sepatutnya dilakukan mengingat hukum pidana formil yang selama ini berlaku telah berusia hampir setengah abad. Menurutnya, pembaruan KUHAP adalah langkah penting untuk menghadirkan keadilan prosedural dan substansial. Ia menekankan bahwa hukum acara pidana tidak hanya ditujukan untuk menghukum pelaku, tetapi juga untuk melindungi individu yang tidak bersalah dari perlakuan sewenang-wenang. Oleh karena itu, setiap tahapan dalam sistem peradilan pidana harus tunduk pada prinsip keadilan yang ketat.
RUU KUHAP juga memberikan ruang terhadap penerapan prinsip restorative justice yang lebih luas dan sistematis. Dalam satu bab khusus, mekanisme keadilan restoratif diatur secara detail agar penyelesaian perkara tidak hanya berorientasi pada penghukuman, tetapi juga pemulihan kerugian korban dan perbaikan hubungan sosial. Restorative justice yang diatur dalam KUHAP baru mencakup seluruh tahap pemeriksaan, mulai dari penyidikan hingga persidangan. Hal ini diharapkan akan menumbuhkan paradigma baru dalam penegakan hukum, di mana pemulihan menjadi prioritas utama dibanding sekadar menjatuhkan hukuman.
Komisi III DPR menegaskan bahwa pembaruan KUHAP tidak mengubah secara mendasar kewenangan aparat penegak hukum. Diferensiasi fungsional tetap dipertahankan, seperti pemisahan antara fungsi penyidikan oleh kepolisian dan penuntutan oleh kejaksaan. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang menekankan pentingnya pencegahan konsentrasi kekuasaan dalam satu lembaga. KUHAP baru justru memperkuat integrasi antar-subsistem peradilan pidana dalam kerangka sistem peradilan pidana terpadu atau integrated criminal justice system.
Sementara itu, Pakar hukum sekaligus Guru Besar Universitas Airlangga (Unair) Prof. Dr. Sadjijono, S.H., M.Hum. menyatakan bahwa KUHAP harus terbit sebelum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru berlaku pada 1 Januari 2026. Menurutnya, keberadaan KUHAP menjadi vital untuk diterbitkan terlebih dahulu karena perlu adanya peraturan pelaksana terhadap implementasi KUHP itu sendiri.
RUU KUHAP sejatinya adalah fondasi baru yang menentukan wajah penegakan hukum Indonesia ke depan. Dengan menjunjung tinggi prinsip keadilan, transparansi, dan perlindungan hak asasi manusia, KUHAP baru dapat menjadi tonggak penting dalam mewujudkan negara hukum yang demokratis dan beradab. Optimalisasi penerapan hukum melalui KUHAP yang terarah dan partisipatif adalah jalan menuju keadilan yang tidak hanya dirasakan oleh negara, tetapi juga oleh rakyat secara menyeluruh. Kini, tantangan terbesar adalah menjaga semangat reformasi hukum ini agar tidak terhenti di tengah jalan dan mampu menjawab harapan masyarakat luas.
*)Penulis merupakan praktisi hukum
Komentar