Penyesuaian Kebijakan SPHP Membuat Harga Beras Jauh Lebih Stabil
Senin, 04 Maret 2024
13:30 WITA
Nasional
1266 Pengunjung
Optimalisasi harga beras di Indonesia menjadi sebuah tugas penting dalam menjaga stabilitas pangan dan kesejahteraan masyarakat. Namun, pencapaian harga yang optimal dihadapkan pada sejumlah tantangan yang kompleks. Salah satunya adalah fluktuasi produksi beras yang tidak konsisten akibat variabilitas cuaca dan perubahan iklim. Ketidakpastian ini berdampak langsung pada ketersediaan dan harga beras di pasar.
Biaya produksi beras yang tinggi, terutama meliputi input seperti bibit unggul, pupuk, dan tenaga kerja, menjadi faktor lain yang ikut mempengaruhi harga jual beras. Tidak hanya itu, tantangan distribusi yang tidak efisien, terutama di daerah terpencil, menimbulkan kenaikan harga beras karena biaya transportasi yang tinggi. Di samping itu, praktik spekulasi dan monopoli di dalam rantai pasok beras juga turut berkontribusi pada fluktuasi harga yang tidak stabil.
Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, diperlukan sejumlah langkah strategis. Pertama, peningkatan produktivitas beras dapat dicapai melalui pendekatan pertanian yang berkelanjutan dan pengadopsian teknologi pertanian yang canggih, seperti sistem irigasi modern dan penggunaan varietas unggul.
Selanjutnya, pemerintah dapat memberikan subsidi untuk input pertanian seperti bibit, pupuk, dan pestisida guna membantu petani mengurangi biaya produksi. Penyediaan infrastruktur yang memadai, terutama dalam hal transportasi dan penyimpanan beras, juga menjadi kunci dalam memastikan distribusi yang efisien dan lancar ke berbagai daerah. Selain itu, pengawasan pasar yang ketat dan penerapan regulasi yang efektif perlu dilakukan untuk mengurangi praktik spekulasi dan monopoli yang merugikan konsumen.
Tidak kalah pentingnya adalah promosi diversifikasi pangan sebagai upaya untuk mengurangi tekanan pada harga beras. Mendorong konsumsi bahan pangan alternatif dapat membantu mengurangi ketergantungan masyarakat pada beras sebagai sumber karbohidrat utama. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat menjadi kunci dalam menciptakan sistem pangan yang lebih stabil dan berkelanjutan.
Pemerintah melalui Badan Urusan Logistik (Bulog), telah mengumumkan keputusan untuk tidak lagi membatasi kios di pasar tradisional maupun ritel modern dalam pengajuan permintaan beras Program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Langkah ini diambil dengan tujuan untuk mempermudah akses terhadap beras bagi semua lapisan masyarakat dan mendukung efektivitas program stabilisasi harga pangan.
Direktur Utama Perum Bulog, Bayu Krisnamurthi, menjelaskan bahwa keputusan ini memungkinkan ritel modern maupun kios beras di pasar tradisional untuk memborong beras SPHP tanpa batasan kuota yang sebelumnya diberlakukan oleh Bulog. Sebelumnya, Bulog menerapkan kebijakan satu toko atau satu warung dengan batasan maksimum pembelian 2 ton beras SPHP.
Bayu menegaskan bahwa kebijakan ini akan berlaku hingga Maret, terutama mengingat suasana Ramadhan 1445 Hijriah yang akan datang. Beras program SPHP sendiri merupakan beras dari cadangan beras pemerintah yang disalurkan ke masyarakat melalui skema subsidi dengan harga penjualan yang ditetapkan sebesar Rp10.900 per kilogram.
Meskipun demikian, Bayu menegaskan bahwa Bulog hanya dapat menyalurkan beras SPHP jika diminta oleh distributor, dan distributor tersebut diwajibkan untuk menyertakan daftar ritel dan warung yang akan dipasok.
Sejak awal tahun 2024, Bulog telah menyalurkan sekitar 226 ribu ton beras SPHP secara nasional, dengan lebih dari 60.000 ton disalurkan hanya pada bulan Februari. Saat ini, stok beras Bulog mencapai 1,18 juta ton yang dipastikan cukup untuk memenuhi kebutuhan beras nasional hingga April 2024.
Bayu optimis bahwa dengan stok cadangan beras pemerintah yang mencukupi, Bulog dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara nasional selama Ramadhan dan Idul Fitri 1445 H, baik untuk bantuan pangan Rp0, beras Program SPHP, maupun beras komersial. Hal ini menunjukkan komitmen Bulog dalam menjaga stabilitas pasokan dan harga beras di Indonesia.
Sementara itu, berkaitan dengan isu yang beredar bahwa harga beras naik gara-gara bansos tidak bisa dibenarkan. Bayu menegaskan bahwa tidak ada hubungan antara bantuan pangan beras dengan distribusi beras dalam Program SPHP. Bulog telah mengalokasikan volume beras secara terpisah untuk kedua program tersebut, sehingga tidak ada alasan bagi bantuan pangan untuk memengaruhi stok atau penyaluran SPHP.
Menurut Bayu, baik program bantuan beras maupun penyaluran SPHP menggunakan beras impor yang telah didatangkan oleh Bulog. Pemerintah sendiri telah menetapkan kuota impor beras sebanyak 2 juta ton untuk tahun ini, sedangkan pada tahun 2023 kuota impor mencapai 3,5 juta ton dengan realisasi sebanyak 3 juta ton.
Saat ini, sekitar 1 juta ton beras impor berhasil terkontrak dan ditargetkan tiba di Indonesia sebelum panen raya terjadi pada akhir Maret 2024. Pemerintah telah mengalokasikan sekitar 220.000 ton beras impor untuk bantuan pangan beras yang dibagikan kepada 22 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) setiap bulannya, sementara SPHP dialokasikan sekitar 100.000 ton per bulan.
Namun, aturan terbaru mengenai SPHP telah diubah untuk penyaluran hingga Maret 2024. Bulog akan melipatgandakan hingga 2,5 kali beras SPHP dari alokasi bulanan dan para peritel baik di pasar modern maupun tradisional dapat membeli beras SPHP tanpa batasan kuota.
Beras SPHP sendiri berasal dari Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dan disalurkan ke masyarakat melalui skema subsidi dengan harga penjualan sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan sebesar Rp10.900 per kilogram.
Hingga bulan Februari 2024, volume beras SPHP yang telah disalurkan mencapai 226.000 ton, dengan wilayah Jakarta dan Banten mencapai 78.000 ton. Ke depannya, penyaluran beras SPHP akan sangat fleksibel dan dapat diakses oleh siapa pun yang membutuhkannya tanpa batasan hingga bulan Maret.
Hanya dengan langkah-langkah yang terintegrasi dan berkelanjutan, diharapkan harga beras dapat dijaga pada tingkat yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat, sehingga menciptakan kestabilan pangan dan kesejahteraan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia.
)* Penulis adalah pengamat kebijakan publik dari Univ. Muhammadiyah Jember
Komentar