Opini, suaradewata.com - Hajatan demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak kedua kalinya kembali diselenggarakan, tepatnya pada 15 Februari 2017 mendatang. Sebanyak 101 daerah di Indonesia akan memeriahkan perhelatan pesta 5 tahun sekali.
Hiruk pikuk kemeriahannya-pun sudah mulai tampak, mulai dari pemasangan spanduk, poster, famplet, brosur dan beraneka jenis iklan telah tayang di berbagai media. Sampai-sampai tak ada satupun tempat yang luput dari periklanan baik di jalan raya, tiang listrik, tembok-tembok hingga di tempat-tempat yang berbau keramaian.
Suatu fenomena yang langka jika dibandingkan dengan era Orde Baru, karena kini Reformasi telah menjamin kebebasan sebesar-besarnya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Hal ini tak lain, demi menghasilkan para pemimpin berkualitas, pilihan rakyat.
Semua orang berhak menyumbangkan aspirasinya melalui pemilihan langsung kepada siapa saja pasang calon yang dipercayakan menjadi “imam” untuk membahterai daerahnya selama 5 tahun ke depan. Sebelum menuju pesta demokrasi yang kian lama kian panas, tahapan menjelang Pilkada (kampanye) ialah hal penentu baik bagi masing-masing Paslon ataupun masyarakat untuk memantapkan jargonnya.
Kampanye Pilkada
Tahapan sebelum pelaksanaan Pilkada ialah masa di mana para kandidat peserta Pilkada bersama tim suksesnya mengupayakan untuk melebarkan pengaruh politik demi mendapat simpatik para pendukungnya. Tahapan ini yang lebih dikenal dengan sebutan kampanye.
Kampanye politik didasari di mana para kandidat berlomba-lomba melakukan komunikasi langsung kepada para pemilik hak suara ataupun para simpatisannya untuk mengutarakan janji-janji politik yang akan ia realisasikan kelak jika mimpinya terwujud.
Mayoritas para calon kepala daerah gencar mengkampanyekan janji untuk menyejahterahkan petani, buruh, pegawai negeri sipil, pendidikan murah, pelayanan ruma sakit murah, sembako murah dan semua hal seakan dapat menjadi murah. Dalih-dalih menjadikan semua hal dengan janji-janji “murah” terkadang hal ini malah keluar dari para kandidat yang juga “murahan”, seperti yang dikutip dari publik news.
Terlepas dari yang tersebut di atas, nyatanya buaian-buaian politik para calon saat kampanye merupakan salah satu hal terpenting yang menjadi penentu bagi para simpatisan untuk semakin memantapkan pilihannya atau malah berpaling hati memilih paslon lainnya.
Penentu Pemenangan Pilkada
Pilkada ialah momentum penentu untuk menghasilkan pemimpin yang akan memikul beban berat untuk mengemban roda pemerintahan selama seperiode kepemimpinan sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 162 ayat 1 dan ayat 2 UU No. 8 Tahun 2015 tentang perubahan atas UU No. 1 Tahun 2015, bahwa setiap para Paslon pemenang Pilkada akan memegang jabatan selama lima tahun terhitung sejak tanggal pelantikannya.
Guna mencapai apa yang telah dikhayal-khayalkan oleh setiap Paslon peserta Pilkada, setiap kandidat harus mengeluarkan banyak keringat guna mendapatkan sebuah suara dari setiap masyarakat di mana ia akan memimpin. Setiap Paslon harus lebih unggul dalam segala hal dari Paslon lainnya ialah syarat mutlak penentu pertama, baik fisik, kepribadian, visi-misi (janji politik), dan track record selama pra perhelatan pengusungannya menjadi calon peserta Pilkada.
Dari beberapa hal yang harus diungguli, terdapat dua hal yang akan menjadi hal krusial mengalirnya banyak suara dari khalayak ramai, yaitu janji politik dan track record masing-masing Paslon.
Janji-janji politik yang selalu digaungkan oleh semua kandidat layaknya sebuah makanan “Junk Food”. Makanan yang sepertinya enak untuk selalu dikonsumsi, tapi justru akan menjadi boomerang kelak yang akan menggerogoti setiap kandidiat. Namun tak dapat dipungkiri, makanan junk food tetaplah makanan yang paling menggiurkan dan trend masa kini.
Berdasarkan beberapa hasil jejak pendapat, janji-janji politik ialah perkara basi yang harus masyarakat konsumsi menjelang pesta demokrasi, di mana dalam proses ini masyarakat telah mengalami suatu era “kemuakan” akan bualan politik semata. Mayoritas janji politik seperti omongan besar belaka. Sebagaimana kata pepatah “tong kosong nyaring bunyinya”, karena jika didalami secara serius bagaimana mewujudkan janji-janji mulia setiap Paslon, tak ter-planning sedemikian apiknya.
Track record setiap calon Pilkada ialah hal dominan kedua yang menjadi timbang-timbang pikir masyarakat untuk melabuhkan suaranya. Seperti yang terjadi pada pergelaran pesta demokrasi terbesar di Indonesia pada Pemilu 2014. Di mana riwayat apik seorang Joko Widodo yang dimulai dari era kepemimpinannya sebagai Walikota Solo, berlanjut ke Gubernur DKI Jakarta hingga sampai-sampai berhasil mengantarkannya menjadi Presiden Republik Indonesia ke tujuh atau ke Presiden ke 16 berdasarkan urutan pemilunya.
Kedua momentum inilah, akan terbersit di banyak kepala akankah Pilkada untuk rakyat atau politisi semata? Jika seorang figur hanya baik bagi Partai pengusung, belum berarti akan baik menurut rakyat. Kepentingan rakyat sejatinya merupakan hal mutlak tertinggi di atas kepentingan politik sebagai landasan menuju kursi orang nomor satu di setiap daerah. Meskipun pada akhirnya, kepentingan rakyat akan kalah sendirinya.
Hal tersebut dapat terlihat dari jalannya proses kepemimpin beberapa Kepala Daerah yang cenderung mengedepankan kepentingan partai politik daripada kepentingan yang lebih utama yakni mensejahterakan rakyatnya. Maraknya praktek korupsi yang melibatkan kepala daerah menjadi salah satu alasan masyarakat bertanya-tanya akan kepentingan dari pelaksanaan Pilkada kalau hanya untuk memilih pemimpin yang korup. Masyarakat tentu akan semakin selektif memilih “imam” untuk mengemban tugas mulia sebagai pemimpin daerahnya. Untuk itu, janji politik yang realitis dan track record yang baik merupakan sesosok pemimpin yang akan menjadi idaman masyarakat.
Komentar