Opini, suaradewata.com - Pertengahan tahun 2015 publik di Indonesia dikejutkan dengan Dwi Djoko Wiwoho, mantan Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSO) Badan Pengusahaan (BP) Batam yang bergabung dengan ISIS. Dwi Djoko Wiwoho meninggalkan pekerjaan dan jabatan yang cukup bergensi, dari sisi ekonomi sudah tidak ada masalah lagi. Kejadian serupa kembali terulang pada tahun 2017. Triyono Utomo Abdul Sakti, mantan Kepala Subdirektorat Penerimaan Negara Bukan Pajak Non Sumber Daya Alam Kementrian Keuangan mengundurkan diri dari PNS dan mencoba bergabung dengan ISIS.
Keputusan Triyono Utomo cukup mengejutkan, pendidikan Triyono cukup bergengsi. Triyono merupakan alumni Sekolah Tingggi Akuntansi Negara (2004) dengan gelas Sarjana Sains Terapan (S.ST), dan alumni dari Flinders University South Australia (2009) dengan gelar Master of Public Administration (MPA). Dari sisi finansial, tentu saja tidak perlu diragukan lagi. Namun daya tarik ISIS yang kuat mampu membuat Triyono berpaling dan memilih meninggalkan karir dan jabatannya untuk bergabung dengan ISIS.
Sebelum kedua pejabat tersebut yang bergabung dengan ISIS, pada bulan Juli 2015 publik dikejutkan dengan kabar bergabungnya Brigadir Syahputra, Anggota Kepolisian dari Polres Batang Hari Jambi. Syahputra bergabung dengan ISIS di Suriah dan berganti nama menjadi Abu Azzayn al Indunisiy. Kabar terakhir, Syahputra telah tewas dalam sebuah serangan udara oleh koalisi international pimpinan AS, msekipun hingga saat ini belum ada konfirmasi atau bukti resmi yang diterima oleh pemerintah Indonesia.
Faktor Pendorong dan Motivasi
Dalam berbagai kesempatan, pemerintah menyatakan bahwa kurang lebih 500’an WNI telah bergabung dengan ISIS. Banyak dari mereka yang tertahan di negara-negara transit seperti Malaysia dan Turki. Angka sebesar itu tentu tidak bisa disepelekan, walaupun banyak dari mereka yang telah kembali ke Indonesia dengan berbagai alasan seperti dideportasi atau memang pulang dengan keinginan sendiri.
Hijrahnya warga negara Indonesia ke ISIS tidak serta merta begitu saja. Ada berbagai faktor yang mendorong mereka untuk bergabung dengan ISIS. Abu Jandal, alias Salim Mubarok Attamimi, warga negara Indonesia yang pernah tinggal di Malang ini adalah salah satu orang yang aktif mengajak dan merekrut orang di daerah Jawa Timur untuk bergabung dengan ISIS.
Ajakan yang dilakukan Abu Jandal diduga dengan bujukan ekonomi. Rekrutmen secara tertutup diduga dilakukan kerana sasaran calon simpatisan ISIS sudah jelas dan merupakan kenalan daru Abu Jandal. Narasai-narasi disampaikan sehingga terbangun motivasi calon simpatisan untuk bergabung dengan ISIS.
Alhasil WNI yang tergiur dengan janji-janji ekonomi ini rela menjual asetnya dan bersama keluarga atau secara bertahap mereka pergi ke Suriah melalui Turki. Abu Jandal, yang kemudian diketahui telah tewas di Suriah, mengumpankan daya tarik ekonomi sebagai pendorong calon simpatisan ISIS untuk hijrah ke Suriah, sehingga terbangun motivasi untuk perubahan secara ekonomis dengan kemasan ideologis.
Selain faktor ekonomi, ISIS berhasil menciptakan daya tarik ideologis yang sangat kuat sehingga mampu menggalang orang-orang yang murni ingin bergabung karena persamaan keyakinan. ISIS menyebarkan doktrin-doktrin ideologis melalui media sosial dan media masa secara masif. Publikasi atas ISIS yang sangat gencar di seluruh dunia justru menciptakan daya tarik bagi banyak orang. Orang yang cenderung mempunyai paham atau keyakinan yang sama akan mudah bersimpati dan akhirnya bergabung. Bahkan tidak sedikit yang melepaskan jabatan, harta, keluarga dan apa yang telah dicapai hanya untuk bergabung dengan ISIS. Ini terbukti pada kasus di Indonesia, mantan pejabat BP Batam dan mantan PNS Kementrian Keuangan bergabung dengan ISIS.
Dari ratusan orang warga negara Indonesia yang telah hijrah dan bergabung dengan ISIS terdeteksi ada dua motivasi besar, yaitu ekonomi dan ideologi. Motif ekonomi terjadi pada simpatisan yang digalang secara individu, face to face, yang biasanya mempunyai hubungan sosial dengan perekrut yang telah lebih dulu bergabung dengan ISIS.
Motif kedua adalah ideologi. Motif ini bisa muncul karena memperoleh informasi tentang ISIS melalui media sosial dan media masa. Interaksi dengan ISIS di Suriah terjadi dengan bantuan internet dan setelah melakukan komunikasi secara intens. Setelah terjadi komunikasi maka penggalangan dilakukan dan orang yang tergalang tersebut akhirnya memutuskan untuk hijrah bergabung dengan ISIS dengan motivasi ideologi.
Selain hijrah, orang yang tergalang melalui media sosial dan media masa, bisa diperalat sebagai lone wolf untuk melakukan aksi di Indonesia. Hal ini seperti yang terjadi di Tangerang (20/20/2016) pada kasus penyerangan Polisi, dan penyerangan di Gereja Katolik di Medan (28/8/2016). Dengan motivasi ideologi dan doktrin-doktrin serta janji surgawi maka pelaku terdorong untuk melakukan aksi teror.
Faktor Penyebab
Mudahnya sebagian warga negara Indonesia terdoktrin dan dimasuki ideologi oleh ISIS menunjukkan ada masalah serius yang harus disikapi oleh pemerintah. Seharusnya ideologi bangsa Indonesia Pancasila dan filosofi Bhineka Tunggal Ika mampu menjadi filter masuknya idelogi seperti yang digunakan oleh ISIS, yang menghalalkan cara-cara keji untuk mencapai tujuan.
Warga negara Indonesia dengan ideologi Pancasila dan filosofi Bhineka Tunggal Ika sadar akan perbedaan di Indonesia, perbedaan tersebut disikapi sebagai sesuatu yang mengayakan dan menyatukan bangsa Indonesia sehingga tercipta persatuan dan kesatuan bangsa. Namun, jika sebagai warga negara Indonesia mempunyai sifat nasionalisme rendah, maka akan membuka diri untuk mencari ideologi lain yang dianggap sesuai dengan keinginannya. Celah rendahnya nasionalisme dan kehausan akan ideologi inilah yang dimanfaatkan oleh ISIS melalui para perekrut secara langsung dan melalui media sosial untuk menggalang simpatisannya.
Nasionalisme akan tetap terjaga jika warga negara merasakan negara hadir dan ada serta mampu menjadi pengayon bagi warganya. Jika pejabat negara dan elit politik sibuk dengan kepentingannya masing-masing maka kepercayaan warga negara terhadap pemerintah akan luntur dan secara langsung nasionalisme akan berkurang. Hal ini terbukti pada berbagai unjuk rasa akhir-akhir ini yang menampilkan aksi-aksi melawan simbol negara seperti penghinaan terhadap Presiden atau bendera Merah Putih. Jika nasionalisme tinggi atau kuat tentu hal tersebut tidak akan terjadi.
Pengaruh kelompok intoleran terhadap masuknya ideologi garis keras cukup signifikan. Kelompok atau organisasi intoleran terutama yang menentang Pancasila atau yang berafiliasi dengan organisasi terlarang seperti ISIS harus ditindak tegas. Jika dibiarkan dan masyarakat melihat bahwa negara tidak melakukan tindakan terhadap kelompok tersebut maka ini menjadi jalan bagi ideologi selain Pancasila untuk eksis di Indonesia.
Sikap dan tindakan tegas harus segera dilakukan untuk menunjukkan posisi negara dalam melindungi warganya dari ideologi dan paham asing. Pembiaran oleh pemerintah akan membuat keraguan warga negara atas terhadap negara, pemerintah, dan filosofi bangsanya. Celah ini sangat berbahaya karena bisa dimanfaatkan untuk menggerus nasionalisme.
Pencegahan
Pemerintah harus dengan cepat mengatasi fenomena ini. Nilai-nilai ideologi Pancasila dan filosofi Bhineka Tunggal Ika harus dipupuk kembali sebagai benteng terdepan mencegah ideologi atau paham asing yang tidak tepat. Paham-paham asing tersebut meskipun dengan kemasan ideologis akan menggalang warga negara Indonesia dan akan mengadu domba sesama warga negara Indonesia.
Negara harus hadir bagi warganya, para pemimpin dan elit politiknya sebagai teladan yang baik bagi penerapan nilai-nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, bukan justru saling bertikai dan memamerkan aksi berebut panggung kekuasaan. Ketidakpercayaan warga negara terhadap pemerintah dan elit politinya akan membuka celah lebar bagi ideologi dan kepentingan asing.
Deradikalisasi harus diawali dengan kepercayaan warga negara terhadap pemerintah dan elit politik. Kepercayaan tersebut yang akan menjadi energi bagi warga negara untuk bergerak bersama-sama pemerintah untuk tetap setia dengan ideologi Pancasila dan filosofi Bhineka Tunggal Ika serta melawan ideologi asing yang berpotensi mengganggu negara. Jika elit politik masih terus bertikai dan menujukkan atraksi politik yang tidak sehat serta menjemukan, maka siap-siap saja daftar orang-orang seperti Wiwoho dan Triyono Utomo bertambah panjang.
Nasionalisme harus dibangkitkan, dikuatkan, dan dibangun sebagai garda terdepan pencegah ideologi asing memasuki Indonesia, dan hal ini harus dimulai dari teladan pemimpin dan elit politik.
*) S. Riyanta, pengamat intelijen dan terorisme, alumnus FMIPA Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia
Komentar