Opini, suaradewata.com - Sebentar lagi pesta demokrasi secara serentak diselenggarakan hampir diseluruh Kabupaten/Kota penjuru tanah air. Pemilihan Kepala Daerah atau yang dikenal dengan pemilukada serentak dapat dikatakan sebagai tren baru di dunia perpolitikan Indonesia.
Namun siapa sangka, keinginan untuk membuat sebuah proses pemilukada serentak yang sehat dan berimbang, kadang tidak sejalan dengan realita dan fakta yang terjadi dilapangan. Seperti hal nya beberapa kejadian dan kasus yang cenderung dapat dikatakan sebagai tindakan yang tidak menyehatkan proses pemilukada, terlebih dengan eksisnya beberapa gerakan ormas atau kelompok akhir-akhir ini yang cenderung menyuarakan aksi yang heroik namun kurang pantas, lantaran kecenderungan kepentingan politik selalu eksis dibelakangnya.
Mengenal Singkat Pemilukada
Sejarah pemilukada ditanah air dimulai sebelum tahun 2005, yang mana Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau yang disingkat dengan Pilkada.
Namun, sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu sehingga secara resmi dikenal dengan Pemilukada.
Ditahun 2011, diterbitkan kembali peraturan serupa yang mengatur tentang pesta politik Indonesia yakni Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, sehingga istilah yang digunakan dalam pesta demokrasi tersebut berubah menjadi Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Selayang Pandang Pemilukada 2017
Tak terasa seminggu lagi pelaksanaan Pemilukada Serentak di 101 daerah di tanah air akan segera digelar. Teruntuk para pejuang demokrasi ditanah air, perlu diketahui bahwa hanya hitungan jam semua hiruk pikuk dan polemik perpolitikan bangsa ini akan segera dimulai. Akan tetapi, tidak sedikit pihak yang meragukan pelaksanaan pemilukada tahun ini dapat berjalan dengan aman dan lancar. Terlebih dari banyaknya jumlah calon kepala daerah yang bertarung dikursi panas, modal kampanye yang begitu besar, tingginya nafsu para calon untuk duduk di kursi panas hingga strategi dan formasi yang disusun acapkali menghalalkan segala macam cara.
Seperti akhir-akhir ini praktik pemilukada yang berjalan belum sesuai dengan harapan, dimana beberpaa ormas dan kelompok kepentingan acapkali mengkombinasikan suku, ras, agama, dan golongan ke dalam genggaman praktik politik pragtis. Tak ayal timbulah apa yang dinamakan dengan egosentris hingga sentimen diantara kelompok pejuang “Priuk Nasi”. Karena wajar bagi mereka untuk bertindak keras dalam pesta demokrasi demi memperjuangkan kursi, perut, dan dompet yang mereka miliki.
Meskipun demikian, kita selaku masyarakat yang cerdas dan paham akan politik, tidak selamanya kursi, perut, dan dompet menjadi hal yang utama. kadang banyak dari kelompok politik menempatkan hati nurani sebagai landasan untuk berjuang. Karena sejauh ini yang terlihat, banyak dari kepala daerah yang terpilih sebelum-sebelumnya lupa darimana mereka berasal dan untuk apa mereka dipiilih.
Karena mudah untuk direnungkan, disaat kita menggunakan jam seharga satu juta rupiah atau seharga seratus ribu, toh keduanya menunjukan waktu yang sama?
Waktu kita tinggal dirumah super mewah atau rumah KPR biasa, kesepian yang kita alami juga tetaplah sama?
Ketika kita terbang dengan pesawat ekonomi atau bisnis, maka saat pesawat terbang terjatuh maka kita pun akan ikut terjatuh?
Duhai para pejuang politik, perlu dimaknai secara mendalam bahwa kebahagiaan tak selamanya berasal dari duniawi. Kadang kebaikan dan perbuatan yang dapat membantu orang banyaklah yang menjadi kebahagiaan sesungguhnya.
Komentar