Opini, suaradewata.com - Berbagai kegiatan teror telah terjadi di seluruh belahan dunia, dan mayoritas kegiatan teror tersebut mengatasnamakan jihad alias agama Islam. Indonesia adalah salah satu negara dengan populasi Islam terbesar di dunia dan beraliran Sunni yang sekaligus aliran yang sama seperti ISIS, secara tidak langsung di Indonesia sendiri terdapat banyak simpatisan ataupun anggota ISIS di dalamnya, sehingga Indonesia menjadi negara yang rawan akan aksi teror. Hal tersebut tentu saja menjadi atensi khusus bagi pemerintah dan merupakan langkah yang tepat untuk mengajukan revisi UU Terorisme guna mencegah kegiatan teror.
Tetapi, revisi UU Terorisme yang sempat diajukan oleh Kepala BIN, Letjen TNI (Purn.) Sutiyoso pasca adanya ledakan bom Sarinah, Jakarta Pusat Januari lalu menuai polemik ditengah masyarakat. Bonar Tigor selaku Wakil Ketua Lembaga Pemerhati HAM mengatakan UU Terorisme yang sudah ada banyak mendapatkan kritikan, terlebih jika akan diperpanjang selama 30 hari.
Para teroris merupakan para pelanggar HAM, dimana hak untuk mendapatkan rasa aman warga sekitar kejadian teror dirampas oleh mereka. Di sisi lain, para aparat keamanan yang telah berdinas memiliki skill dan pengetahuan yang diperoleh dari pelatihan-pelatihan yang telah dijalaninya sebelum mereka mengemban tugas negara. Aparat kemanan tidak akan menangkap dan menahan orang berdasarkan subjektivitas aparat itu sendiri, melainkan mereka melakukan tugasnya berdasarkan surat perintah dari pimpinannya. Selain itu, mereka memiliki informasi yang telah diperoleh untuk mendalami seseorang yang diduga memiliki jaringan ataupun terlibat langsung dalam kegiatan terorisme, sehingga kemungkinan kecil bagi mereka untuk melakukan kesalahan saat bertugas.
Jika dilihat dari potensi penegak hukum dan badan pencari informasi, Indonesia terbilang sudah cukup mumpuni dalam memberantas terorisme di dalam negeri sendiri, terbukti banyak penyergapan dan penangkapan teroris-teroris, dan semuanya berhasil dengan korban yang sangat minim.
Revisi UU Terorisme yang diajukan oleh Letjen TNI (Purn.) Sutiyoso tidaklah se-ekstrem PATRIOT Act milik aparat keamanan Amerika, dimana mereka berhak mengambil hak warga negaranya demi keamanan nasional negaranya. Seperti contoh mengambil data pribadi, melakukan penjejakan, melacak arus keuangan perseorangan dan lain-lain. Tentunya dengan banyak kritikan dan kontroversi tetapi tetap ditandatangani oleh George W. Bush demi mewujudkan programnya yaitu War on Terror pada tahun 2001.
Bom yang terjadi di Mapolres Solo saat Hari Raya Lebaran lalu, dinilai membuat pemerintah Indonesia seperti jatuh di lubang yang sama, hal tersebut semoga menjadi renungan bagi para penyuara organisasi perlindungan HAM untuk tidak lagi mendukung teroris yang mencoba mengambil HAM masyrakat luas, serta renungan bagi badan legislatif Indonesia agar dapat lebih dapat bekerjasama dengan pemerintah dalam pemberantasan aksi terorisme.
Jika mengatasnamakan HAM untuk memperluas gerak-gerik pelaku teror, maka dimanakah HAM untuk korban-korban teror? Mungkin terdengar dilematis bagi badan-badan legislatif, tetapi seperti kata pepatah, lebih baik mencegah daripada mengobati. Pepatah tersebut sangat tepat ditujukan untuk perumus dasar hukum di seluruh dunia. Membahas tentang pembuatan dasar hukum dan peraturan, tidak luput dari pro dan kontra tetapi dasar hukum dan peraturan pada dasarnya dibuat demi kebaikan bersama apabila menjalaninya baik pula. Di sisi lain jika ada orang yang merasa keberatan atau kontra terhadap peraturan tersebut, maka ada indikasi bahwa ia mendukung ketidakbaikan. Dengan demikian, perlu diketahui tujuan dan latar belakang dibalik pembuatan dasar hukum agar tidak salah dalam menanggapinya.
Komentar