Polemik Sengketa Laut Cina Selatan
Sabtu, 10 September 2016
00:00 WITA
Nasional
5026 Pengunjung
ilustrasi
Opini, suaradewata.com – Putusan pemerintah kita yang berkomitmen untuk memperjuangkan seluruh batas wilayah, termasuk blok Natuna yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan perlu mendapat apresiasi dan dukungan penuh. Terlebih dengan terbitnya Buku Putih China yang berisi tentang klaim China terhadap sebagian besar Laut China Selatan dengan berbagai kepulauan yang ada didalamnya namun tidak didasarkan pada Sembilan Garis Putus atau nine dash line. Buku putih ini terbit sesaat setelah disahkannya keputusan mahkamah arbitrase internasional pada 12 Juli lalu yang menyatakan bahwa China telah melanggar kedaulatan Filipina di Laut China Selatan melalui ‘nine dash line’-nya.
Jika dilihat dari latar belakang sejarahnya, sengketa di Laut China Selatan ini bermula sejak akhir abad 19 ketika Inggris mengklaim Kepulauan Spratly, diikuti oleh China pada awal abad ke-20, dan Perancis sekitar tahun 1930. Pada masa Perang Dunia II, Jepang mengusir Perancis dan memanfaatkan Kepulauan Spratly sebagai basis kapal selam. Pada tahun 1947, ketika China berada di bawah kekuasaan Partai Kuomintang pimpinan Chiang Kai Sek, China menetapkan klaim teritorialnya atas Laut China Selatan melalui garis demarkasi yang mereka sebut eleven dash line.
Berdasarkan klaim ini, China menguasai mayoritas kawasan Laut Cina Selatan termasuk didalamnya Kepulauan Pratas, Macclesfield Bank, serta Kepulauan Spratly dan Paracel yang didapat China dari Jepang usai Perang Dunia II. Klaim ini tetap dipertahankan ketika Partai Komunis menjadi penguasa China pada tahun 1949, namun Pemerintah Komunis menyederhanakan peta tersebut dengan mengubahnya menjadi nine dash line atau sembilan garis batas sebagai landasan historis dalam klaimnya terhadap wilayah perairan di Laut Cina Selatan.
Kawasan perairan seluas 3 juta kilometer persegi tersebut tampak telah menjadi incaran berbagai negara di kawasan Asia Tenggara. Hal ini terjadi karena berbagai potensi yang dimiliki oleh Laut China Selatan dirasa sangat menguntungkan. Berdasarkan data pemerintah AS, kawasan ini merupakan lalu lintas perdagangan internasional yang bernilai tidak kurang dari 5,3 triliun AS setiap tahunnya. Selain itu, menurut data Badan Informasi Energi AS, terdapat sebanyak 11 miliar barel cadangan minyak bumi dan 190 triliun kaki kubik gas alam yang tersimpan didalam kawasan perairan ini.
Di Blok Natuna sendiri, terdapat berbagai potensi sumber daya yang dapat menjadi sasaran negara tetangga. Di dalamnya terkandung 46 triliun kaki kubik cadangan gas alam dimana jumlah ini merupakan jumlah yang terbesar sepanjang sejarah kegiatan eksplorasi migas di Indonesia. Selain itu, keragaman biota laut yang terdapat di dalam perairan Blok Natuna yang berlimpah mengundang banyak nelayan asing terutama nelayan tradisional China untuk melanggar batas negara dan beroperasi di kawasan tersebut.
Hal ini sudah tentu menjadi perhatian khusus bagi pemerintah kita agar lebih gencar dalam rangka menjaga wilayah perbatasan Indonesia di kawasan Blok Natuna serta mengoptimalkan pengelolaan potensi alam yang terkandung didalamnya. Sejauh ini sudah diberlakukan beberapa upaya yang dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan potensi dan pengelolaan sumber daya di Blok Natuna. Beberapa upaya tersebut diantara lain adalah seperti pengembangan potensi turisme wilayah pantai di kepulauan Natuna dan Anambas serta melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mengirim ribuan nelayan dari kawasan Pantai Utara Jawa agar dapat beroperasi di wilayah perairan Natuna.
Dengan telah diberlakukannya beberapa kebijakan dan upaya tersebut, diharapkan pengelolaan sumber daya di Blok natuna dapat berjalan lebih optimal dan berkembang dengan baik. Selain hal tersebut, pemerintah juga harus meningkatkan kewaspadaannya terhadap berbagai upaya China untuk terus mengklaim wilayah Laut China Selatan, terlebih setelah China menolak hasil putusan mahkamah arbitrase internasional melalui penerbitan buku putih china yang sengaja diterbitkan oleh pemerintah China untuk tetap mengklaim wilayah tersebut.
Peningkatan keamanan di sekitar Blok Natuna juga harus diberlakukan dengan penambahan armada TNI yang berpatroli di wilayah tersebut. Hal ini diterapkan dalam rangka menghindari adanya pelanggaran batas wilayah serta ‘illegal fishing’ yang kerap terjadi di wilayah ini. Dengan demikian, melalui dukungan penuh dari pemerintah pusat dengan upaya pengamanan dari aparat keamanan dapat mencapai adanya suatu sinergitas dalam rangka mempertahankan kedaulatan wilayah Indonesia di Laut Cina Selatan.
Riki Prianto
Pengamat Hubungan Internasional
Komentar