Opini, suaradewata.com - Baru-baru ini pihak Kepolisian dan TNI menorehkan sebuah prestasi melalui sebuah Tim Satgas Gabungan kedua lembaga keamanan Negara tersebut dalam menumpas kelompok terorisme Mujahidin Indonesia Timur yang bermarkas di hutan Tambarana, Poso Pesisir Utara, Sulawesi Tengah. Diberitakan dalam surat-surat kabar, Tim Satgas Gabungan Kepolisian dan TNI berhasil menembak dua anggota Mujahidin Indonesia Timur yang telah lama menjadi DPO karena banyak melakukan aksi terror baik aksi pengebomanan maupun aksi penembakan aparat kepolisian. Dugaan sementara dari pihak kepolisian manunjukkan bahwa korban yang tewas dari kelompok terorisme tersebut adalah pimpinan MIT, Santoso. Namun dugaan tersebut sampai saat ini belum dapat dikonfirmasi karena terkendala dalam evakuasi mayat korban menuju rumah sakit di Poso guna dilakukan identifikasi dan autopsi. Faktor lain yang mempersulit evakuasi adalah medan di hutan Tambarana yang ekstrem dan hujan lebat terus menghambat proses evakuasi tersebut.
Pada faktanya, sebelum diadakannya Tim Satgas gabungan Kepolisian dan TNI Tinombala tersebut, Polri telah menggelar Operasi Camar Maleo 2015 yang fokus menangkap Santoso dan jaringannya di Kabupaten Poso. Operasi yang berlangsung sejak 26 Januari 2105 tersebut rencananya berlangsung selama dua bulan dengan mengerahkan sekitar 1.000 pasukan dengan dibantu aparat TNI. Operasi tersebut telah menangkap enam terduga simpatisan dan jaringan kelompok Santoso di beberapa lokasi, serta mengamankan sejumlah barang bukti antara lain sepucuk senjata api rakitan, puluhan amunisi dan selongsong peluru, bahan peledak, dan sejumlah sepeda motor. Selama 2015, polisi telah menangkap 12 kaki tangan kelompok Santoso, dan menjalani pemeriksaan intensif di markas polisi. Namun informasi tentang adanya operasi baru Satgas gabungan Tinombala ini disembunyikan dari publik untuk menghindari adanya hambatan dari luar yang mungkin akan menggagalkan proses operasi.
Kapolri baru saat ini, Jendral Tito Kanavian mengapresiasi hasil kerja dari Tim Satgas gabungan tersebut karena dengan prestasi penembakan anggota kelompok teroris Santoso dapat dijadikan sebagai ukuran keberhasilan aparat Kepolisian dan TNI dalam menjaga keamanan dan memberantas terorisme Indonesia. Tito sendiri pernah bertugas dalam operasi pemberantasan terorisme di Poso pada periode 2004 hingga 2007. Tito bahkan menuliskan hasil operasi tersebut menjadi sebuah buku berjudul Indonesian Top Secret: Membongkar Konflik Poso.
Bagaimana kemunculan kelompok Santoso?
Apa penyebabnya?
Awal mula kemunculan kelompok Santoso tersebut memiliki beragam versi. Pada dasarnya kemunculan kelompok Santoso ini karena adanya kasus pertikaian antara umat Islam dan Kristen yang terjadi sejak 1998 dimana pertingkaian tersebut menimpa kampung halaman Santoso. Kampung halaman yang semula aman dan tenang menjadi penuh dengan tekanan dan ancaman akibat adanya konflik antar agama dimana menewaskan banyak korban baik dari pihak Islam maupun Nasrani. Sebagai korban konflik, menyebabkan tumbuhnya benih ekstremisme di dalam diri Santoso. Saat konflik, Santoso menyaksikan banyak warga Muslim yang menjadi korban. Perlahan, konflik tersebut menyisakan dendam dan kebencian. Hal itu pun tak langsung surut saat konflik berakhir. Kekecewaan malah semakin bertambah seiring banyaknya masalah yang muncul dalam proses rekonsiliasi. Penyelesaian masalah aset warga tak berjalan lancar. Malah, dugaan korupsi muncul dalam penyelesaian tersebut. Dana untuk rekonsiliasi diduga dikorupsi pejabat daerah.
Di sisi lain, petugas keamanan dinilai bertindak tidak adil dengan menerapkan Undang-undang teroris kepada kelompok Muslim dan memberlakukan pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana kepada warga Kristen. Kekecewaan inilah yang makin menyulut kemarahan dan menyulut benih ekstremisme Santoso. Bersamaan dengan itu, dia mulai bersentuhan dengan kelompok ekstrem yang datang dari berbagai daerah ke Poso. Sentuhan dengan kelompok-kelompok militan Islam semasa konflik Poso tersebut mulai menyebabkan perubahanan sikap Santoso. Jamaah Islamiyah (JI) adalah salah satu Organisasi yang terlibat aktif menyokong kelompok Islam semasa konflik Poso. Santoso sendiri sempat mendapat gemblengan pemahaman agama dari Abu Husna alias Hambali, yang dikenal sebagai salah satu pentolan JI. Bahkan, Santoso sempat menjalani pelatihan militer di Mindanao, Filipina.
Benih ekstrem yang ditanamkan JI diperkuat dengan "asupan-asupan" materi dari berbagai kelompok yang mendukung kelompok Muslim selama konflik. Di saat itulah, jejak ekstremis dalam diri Santoso menjadi kuat. Pemahaman agama yang fanatik semakin menguat pascakonflik. Sebab, Santoso semakin sering bersentuhan dengan kelompok-kelompok Islam ekstrem yang masih berada di Poso. Oktober 2009 menjadi momen yang menjadikan ekstremisme Santoso mengkristal. Pertemuan antara Santoso, Yasin dan Abu Tholut menjadi titik awal Santoso menegaskan siapa dirinya. Santoso mengusung pentingnya pelatihan militer di Poso. Belakangan, bekal pelatihan dan pemahaman agama yang keras inilah yang membuatnya ditunjuk Abu Tholut, penanggung jawab pelatihan militer di Jantho, Aceh pada 2010, sekaligus Ketua Departemen Pendidikan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), sebagai Ketua Asykari (Laskar Militer) JAT Cabang Poso pada 2009 dan definitif terbentuk Januari 2011. Kemampuan pelatihan inilah yang kemudian menjadi ajang Santoso untuk mulai merekrut pengikut. Santoso mengadakan tiga pelatihan pada 2011, serta tiga pelatihan pada 2012. Salah satu peserta pada pelatihan Januari 2011 adalah Aryanto Halunta, yang tak lain pelaku penembakan polisi di Kantor BCA Palu.
Apa yang harus dilakukan setelah Santoso tewas?
Apabila mayat korban baku tembak kelompok teroris Santoso dengan Tim Satgas Tinombala adalah benar-benar Santoso, apa langkah selanjutnya yang akan dilakukan oleh pemerintah terkhusus Kepolisian. Masih ada anggota kelompok Santoso yang berkeliaran di Hutan Tambarana yang ada kemungkinan akan melakukan serangan balas dendam kepada Kepolisian melalui terror bom maupun penembakan-penembakan lainnya. Mau tidak mau pasti terror juga akan bedampak kepada masyarakat Poso akibat adanya penembakan tersebut. Namun, pihak Kepolisian tidak akan tinggal diam dalam mengatasi permasalahan yang mungkin akan muncul dikemudian hari karena pada kenyataanya kelompok MIT tersebut sudah mulai melemah dan tidak memiliki daya untuk melawan aparat keamanan secara langsung. Jalan yang paling baik untuk menghindari munculnya konflik laten lainnya adalah melalui jalan damai dan menyuruh anggota MIT yang masih tersisa untuk menyerah secara baik-baik kepada aparat Kepolisian agar masalah yang ada di Poso dapat segera diselesaikan.
Namun, permasalahan terorisme belum selesai begitu saja hanya karena Kelompok MIT dapat dilemahkan. Masih banyak ancaman serupa yang berasal dari kelompok lain yang mungkin lebih modern dan memiliki taktik yang jauh lebih maju ketimbang kelompok MIT. Seperti yang disampaikan oleh seorang pakar terorisme Asia Tenggara, Sidney Jones mengatakan bahwa kekhawatiran pemerintah Indonesia terhadap Kelompok MIT secara umum harus ditepis terlebih dahulu karena sel-sel kelompok teroris yang beroperasi di Depok, Bekasi, Jakarta dan Surabaya pada akhirnya akan menjadi ancamana yang lebih berbahaya ketimbang sang komandan IS. Kepolisian harus lebih waspada terhadap jihadis jebolan Suriah yang kemungkinan akan pulang ke Indonesia suatu saat nanti. Figur dengan keterlampilan baru, ideologi yang kuat dan hubungan internasional yang luas akan lebih mampu menghidupkan kembali gerakan teror di Indonesia daripada gerakan terror secara tradisional yang dilakukan oleh kelompok Santoso.
Bagaimanapun perkembangan kondisi nantinya, kita tetap harus mengapresiasi dan menghargai segala usaha yang dilakukan Kepolisian dalam upaya menangkal potensi ancaman dari gerakan terror yang dilakukan oleh kelompok-kelompok teroris yang menjadikan Indonesia sebagai basis operasi mereka. Mau tidak mau pelemahan kelompok teroris Santoso akan berdampak juga terhadap kelompok lainnya karena telah melihat kinerja dari Kepolisian yang telah berhasil membasmi para teroris walau dengan waktu yang cukup lama dan sulit.
Komentar