500 Korban Terorisme di Indonesia Minta Keadilan
Selasa, 06 September 2016
00:00 WITA
Badung
3901 Pengunjung
suaradewata
Badung, suaradewata.com – Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai mengatakan, penanganan tindak pidana terorisme di Indonesia selama ini hanya difokuskan kepada pelaku kejahatan. Saat ini ada sekitar 500 orang korban tindak pidana terorisme di Indonesia yang kebutuhan atau hak untuk memulihkan kondisinya baik psikis maupun moral masih terabaikan.
"Padahal ada hal penting yaitu bagaimana dengan pemulihan korban yang mengalami penderitaan akibat peristiwa terorisme. Ini yang tidak menjadi perhatian oleh semua pihak," ujarnya di Kuta, Bali, Selasa (6/9/2016).
Padahal, penderitaan yang dialami para korban tidak hanya seketika kejadian, tetapi pasca kejadian dan bahkan puluhan tahun setelah kejadian mereka masih mengalami penderitaan tersebut.
Karena itu, menurutnya kondisi ini harus dipulihkan agar mereka terbebas dari luka fisik maupun psikologis. Implementasi pemenuhan hak korban terorisme menjadi penting untuk segera dijalankan. Saat ini masih ada banyak kendala dalam pemenuhan hak korban karena lemahnya pendataan para korban atas peristiwa tersebut.
Hal yang sama juga terjadi pada korban narkoba dimana penegak hukum hanya melihat tersangka sebagai saksi korban, sementara hak korban untuk mendapatkan keadilan tidak terpenuhi dengan baik.
Terkait dengan korban terorisme, selama ini negara belum mampu membayar kerugian atau kompensasi atas penderitaan yang dialaminya. Data di LPSK menunjukkan, peristiwa bom Bali I, bom Bali II, JW Marriot, bom di Kedutaan Australia, dan yang terakhir di Sarinah, dimana para korban tetap belum mendapatkan kompensasi dengan baik.
"Hingga saat ini ada sekitar 500 korban terorisme di Indonesia yang belum dijamin hak-haknya. Negara sama sekali belum berempati terhadap korban terorisme di Indonesia," ujarnya.
Menurutnya, pemenuhan hak korban terorisme merupakan salah satu mandat LPSK berdasarkan UU No 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pemenuhan hak dimaksud yakni pemberian bantuan medis dan rehabilitasi psikososial dan psikologis, hak restitusi, misalnya ada cacat seumur hidup harus mendapatkan apa, yang kehilangan pekerjaan dan sebagainnya. Namun dalam prakteknya di lapangan ada beberapa Polda yang sulit memberikan surat keterangan sebagai korban terorisme.
"Kami kesulitan untuk mendapatkan hal tersebut. Kami sudah meminta fasilitasi dari Kementerian terkait untuk meminta surat keterangan tersebut, tetapi sampai saat ini belum dijadwalkan. Bahkan, negara berlindung dibalik regulasi yang belum jelas, sehingga mekanisme pemenuhan hak-hak korban masih saja belum bisa dilakukan. Sementara di negara lainnya, regulasi yang mengikuti hak korban sebagaimana layaknya seorang manusia," pungkasnya. ids/hai
Komentar