Komitmen Jokowi dalam Membongkar dan Memberantas Korupsi
Kamis, 16 Juni 2016
00:00 WITA
Nasional
5499 Pengunjung
ilustrasi
Opini, suaradewata.com – Di era reformasi, pesimisme masyarakat tetap timbul karena praktik-praktik negatif seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme yang mewarnai perilaku aparat pemerintah.
Beberapa contoh pemberitaan di media massa menyebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menelusuri keterlibatan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi dalam kasus dugaan suap Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
KPK masih mencari tahu asal-usul dan kepentingan uang-uang yang ditemukan dalam penggeledahan di rumah dan ruang kerja Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi.
Dia ditangkap KPK pada saat operasi tangkap tangan (OTT) terkait dugaan suap upaya penundaan salinan putusan kasus korupsi di tingkat kasasi di MA. (sumber : Kompas.com 8/3/2016).
Hal ini menunjukan bahwa segala proses pengambilan kebijakan publik berada di tangan kaum elit politik. Kekuasaan menjadi sangat berkuasa sehingga melahirkan kesewenang-wenangan/otoriter dan cenderung represif.
Kasus korupsi di negeri ini semakin menjadi-jadi. Korupsi dengan berbagai rupa macam dan modusnya. Sudah bermacam rupa, gaya, dan profesi pula orang-orang yang tercekik dan terjebak penyakit korupsi; mulai dari politisi, birokat, pengusaha, mantan aktivis, penegak hukum, hingga akademisi.
Korupsi adalah kejahatan yang sangat keji, karena korbannya dapat menimpa ratusan juta orang. Korupsi adalah penyakit terburuk yang menghambat laju kemajuan suatu bangsa. Korupsi menjadi penyebab besar hambatan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dalam sebuah negara, dan rentan sekali menambah kemelaratan warganya.
Permasalahan-permasalahan yang terjadi tidak banyak berubah yaitu buruknya penyelenggaraan tata pemerintahan (poor governance) di negeri ini. Seperti buruknya penyelenggaraan tata pemerintahan diindikasikan oleh beberapa hal. Antara lain, dominasi kekuasaan oleh satu pihak terhadap pihak-pihak lainnya, sehingga pengawasan menjadi sulit dilakukan, terjadinya tindakan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), rendahnya kinerja aparatur termasuk dalam pelayanan kepada publik atau masyarakat di berbagai bidang.
Selain itu buruknya birokrasi di Indonesia juga dapat dilihat dari penyalahgunaan wewenang dan masih besarnya praktek KKN, rendahnya kinerja sumber daya manusia dan kelembagaan aparatur, s istem kelembagaan (organisasi) dan tata laksana (manajemen) pemerintahan yang belum memadai, rendahnya efisiensi dan efektivitas kerja, rendahnya kualitas pelayanan umum, rendahnya kesejahteraan PNS, banyaknya peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan pembangunan.
Sedangkan, menurut United Nation Development Program (UNDP) mendefinisikan governance sebagai the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels.
Menurut UNDP ada beberapa karakteristik pelaksanaan good governance antara lain; participation, adanya keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya.
Kemudian, adanya jaminan dari negara bagi warganegara untuk berasosiasi, diberikan kebebasan dalam menyatakan pendapat dan ikut berpartisipasi dalam menentukan dan memutuskan kebijakan publik.
Rule of law, kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu. Setiap warganegara dilakukan sama dihadapan hukum tidak ada pengecualian.
Komitmen pemerintahan Jokowi dalam pemberantasan korupsi dengan cara membangun politik legislasi yang jelas, terbuka, dan berpihak pada pemberantasan korupsi serta reformasi kelembagaan penegakan hukum di Indonesia patut diapresiasi semua.
Secara masif harus digerakkan untuk menekan lembaga hukum agar tidak ikut-ikutan untuk berbuat korup serta menangkap para koruptor tanpa pandang bulu. Tidak ada kompromi dan jalan tengah demi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di republik ini.
Pejabat tinggi lembaga negara atau pejabat partai politik semua manusia Indonesia yang korup harus diadili, ditangkap, dan dihukum seberat-beratnya. Kemudian ditambah dengan melakukan gerakan masif untuk mensosialisasikan budaya antikorupsi harus terus-menerus diselenggarakan. Seperti gerakan kultural antikorupsi.
Karena nilai-nilai antikorupsi penting untuk ditumbuhkan dalam alam pikir dan kesadaran hati masyarakat. Partisipasi masyarakat sangat diperlukan, KPK tak bisa bekerja sendiri memberantas korupsi.
Disamping itu, pemerintah juga membutuhkan pemecahan-pemecahan yang sistematis untuk menyelesaikan penyakit korupsi yang menggurita di republik ini. Jika cara lama sudah tak ampuh lagi, cara baru mau tak mau harus dirumuskan. Sehingga republik ini tak melulu terombang-ambing dalam pusaran korupsi.
Semoga tahun ini dan tahun-tahun mendatang tidak ada hal yang tersembunyi tentang korupsi dan tidak banyak kabar berita di media tentang para elite, pejabat publik, dan pemimpin politik, di pusat maupun di daerah yang tersandera oleh penyakit sawan di negeri ini.
Harapan kedepan, lembaga utama yang bertugas menghabisi korupsi seperti KPK mesti lebih berani dan tidak pilih kasih. Karena penting dilakukan mengingat langkah monitoring dan evaluasi secara menyeluruh terkait implementasi Inpres No 7 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2015. Serta harus ada sanksi bagi jajaran eksekutif yang dinilai tidak melaksanakan instruksi tersebut.
Sudah waktunya Jokowi tampil sebagai figur pemimpin antikorupsi dan menjadikan agenda pemberantasan korupsi sebagai agenda prioritas pemerintah selama empat tahun kedepan.
Komentar