Indonesia Saatnya Kembangkan Bakteri Wolbachia
Senin, 29 Februari 2016
00:00 WITA
Badung
3729 Pengunjung
suaradewata.com
Badung, suaradewata.com - Indonesia kini tidak perlu lagi takut dengan bahaya nyamuk Aedes Aegypti karena sudah ada bakteri menguntungkan yang bernama Wolbachia. Penelitian ini sudah dilakukan oleh Yayasan Tahija Yogyakarta. Dosen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran UGM Prof DR Adi Utarini menjelaskan, penelitian awal sudah dilakukan di Yogyakarta.
"Ada 4 titik di dua lokasi yang disebar nyamuk yang sudah disuntik bakteri Wolbachia tahun 2014 lalu. Kemudian setelah dipantau, jumlah kasus DB terus menurun. Tahun 2014 hanya 7 kasus di 4 titik tersebut, tahun 2015 tinggal 2 kasus, dan sampai dengan tahun 2016 ini, belum ada kasus sama sekali. Dan kita berharap bisa zero sama sekali di 4 titik tersebut," ujarnya di Nusa Dua, Minggu (28/02).
Menurutnya, 4 titik yang dimaksud adalah 2 titik di Sleman dan 2 titik lainnya di Bantul. Ia menyebutkan, teknologi pengembangan bakteri Wolbachia ini sudah sukses dikembangkan di Brasil, Australia, Kolombia, Nepal, Vietnam. Sementara di Indonesia, baru pertama kali dikembangkan di Yogyakarta melalui Yayasan Tahija. Sebenarnya, jumlah penurunan kasus pasca dikembangkan bakteri Wolbachia tersebut bisa dijadikan parameter untuk pencegahan DB di Indonesia.
"Bakteri itu disuntikan ke nyamuk, kemudian nyamuk itu kembali dilepas di 4 titik. Nyamuk yang sudah mengandung bakteri tersebut akhirnya berkembangbiak, kawin mawin dengan nyamuk lainnya. Fungsi bakteri Wolbachia tersebut adalah agar bakteri DB tidak bisa tertular ke manusia bila nyamuk itu sudah disuntik dengan bakteri dalam dirinya," ujarnya. Ia mengaku sudah mempresentasikan hasil penelitian sementara ini ke Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X dan ke Kementerian Kesehatan dan Kementerian Ristek Dikti.
"Umumnya mereka menyambut baik penelitian ini. Bahkan Gubernur DI Yogyakarta meminta kalau bisa nyamuk yang sudah disuntik bakteri dilepas di seluruh Yogyakarta," katanya.
Sementara itu, General Manager Project Support and Services Yayasan Tahija Agus Santoso menjelaskan, pihaknya tidak mau terburu-buru untuk mengimplementasikan penelitian ini dalam program pemerintahan.
"Kita harus menunggu sampai kasus DB benar-benar nol dalam beberapa tahun baru bisa diformulasikan dalam bentuk program berskala besar," ujarnya.
Untuk penelitian di 4 titik di Yogyakarta itu, yayasannya harus merogoh kocek sebanyak Rp 25 miliar baik untuk infrastruktur, laboratorium, operasional lapangan dan sebagainya. Bila hasilnya benar-benar sesuai harapan makan pihaknya mempersilahkan pemerintah baik pusat hingga daerah untuk memformulasikan dalam bentuk program nyata yang tentu saja dibiayai oleh pemerintah. "Jadi final dari penelitian ini adalah tahun 2019 nantinya," ujarnya. Penelitian saat ini didukung penuh oleh Australia melalui Prof Scott O'Neil dari Monastry University Australia.ids
Komentar