DPR Pastikan RUU Penyiaran Jamin Hak Berekspresi dan Kebebasan Pers
Minggu, 06 April 2025
19:24 WITA
Nasional
1076 Pengunjung

Revisi UU Penyiaran
Oleh: Simon Edon *)
Di tengah arus deras informasi digital yang serba cepat dan meluas, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengatur penyiaran yang bertanggung jawab namun tetap menjunjung tinggi hak kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang saat ini tengah dibahas oleh DPR RI, memunculkan diskursus publik yang cukup dinamis, terutama dari kalangan jurnalis, akademisi, dan masyarakat sipil.
Kekhawatiran sebagian pihak muncul karena ada anggapan bahwa regulasi baru ini bisa berpotensi membatasi ruang gerak jurnalisme investigatif, penyiaran konten digital, serta peran media dalam mengkritisi kekuasaan. Namun, penting untuk menelaah lebih dalam bahwa semangat penyusunan RUU ini bukan untuk mengekang, melainkan untuk merespons kebutuhan zaman, memperkuat perlindungan hukum di dunia penyiaran, dan menjaga kedaulatan informasi nasional.
Salah satu tokoh yang menyuarakan pentingnya menjaga keseimbangan dalam revisi ini adalah Direktur Utama Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara, Akhmad Munir. Ia menegaskan bahwa kebebasan pers adalah amanat konstitusi dan telah dijamin secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Oleh sebab itu, menurut Munir, revisi RUU Penyiaran harus tetap menjamin penyelenggaraan kebebasan pers, hak berekspresi, serta kemerdekaan berpendapat.
Penting dicatat, Indonesia saat ini menduduki peringkat ke-108 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers 2023 versi Reporters Without Borders (RSF). Meski lebih baik dibanding beberapa negara tetangga, posisi ini menunjukkan bahwa masih banyak ruang perbaikan, khususnya dalam aspek regulasi yang mendukung independensi jurnalis dan perlindungan terhadap kerja jurnalistik yang kritis namun bertanggung jawab. Revisi UU Penyiaran diharapkan tidak menjadi langkah mundur, tetapi justru menjadi momentum untuk memperkuat peran media di era digital.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono, dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa pihaknya berkomitmen memastikan kebebasan pers tetap terjaga. DPR memahami bahwa salah satu kekhawatiran terbesar insan pers adalah potensi kriminalisasi atas karya jurnalistik, atau adanya pasal-pasal multitafsir yang dapat digunakan untuk membatasi ruang gerak media. Oleh karena itu, Dave menyampaikan bahwa pembahasan RUU Penyiaran dilakukan secara terbuka dan hati-hati, serta mengedepankan konsultasi publik bersama para pemangku kepentingan, termasuk Dewan Pers.
Dalam RUU Penyiaran yang beredar di ruang publik, memang terdapat sejumlah pasal yang menjadi sorotan. Salah satunya adalah ketentuan mengenai pelarangan penayangan jurnalisme investigasi, serta pelibatan aparat negara dalam proses perizinan penyiaran. Namun, melalui proses penyempurnaan, pasal-pasal tersebut akan ditinjau kembali secara komprehensif agar tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pers dan demokrasi.
Sementara itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memberikan klarifikasi terkait kekhawatiran adanya intervensi terhadap kebebasan media asing. Menurutnya, RUU Penyiaran tidak dimaksudkan untuk membatasi kerja jurnalistik, tetapi lebih kepada memberikan perlindungan terhadap warga negara asing (WNA), termasuk jurnalis asing, yang bekerja di wilayah Indonesia, terutama di daerah yang rawan konflik atau bencana. Hal ini sesuai dengan Pasal 3 huruf a dalam draft RUU, yang menyebutkan tujuan regulasi adalah untuk "mencegah dan menanggulangi ancaman terhadap keamanan dan keselamatan orang asing."
Pendekatan ini bukanlah bentuk represi, melainkan bagian dari tanggung jawab negara dalam melindungi seluruh entitas yang berada di wilayah yurisdiksinya. Dalam praktik internasional, pengawasan dan perlindungan terhadap jurnalis asing juga dilakukan di banyak negara, termasuk negara-negara demokrasi maju. Kuncinya adalah memastikan koordinasi yang baik antara lembaga negara dan tidak menjadikan regulasi sebagai alat pembungkaman.
Di sisi lain, revisi RUU Penyiaran juga mencoba menjawab tantangan baru dari era digital. Lahirnya berbagai platform Over-The-Top (OTT) seperti YouTube, Netflix, dan TikTok telah menggeser pola konsumsi media masyarakat. Di sinilah pentingnya regulasi baru yang tidak hanya mengatur media konvensional, tetapi juga memberi kepastian hukum terhadap konten digital, terutama dalam hal tanggung jawab penyiaran, sensor, perlindungan anak, serta disinformasi.
Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa pada 2023, pengguna internet di Indonesia mencapai lebih dari 215 juta orang, atau sekitar 78,19% dari total populasi. Mayoritas dari mereka mengakses informasi dari media sosial dan platform digital. Tanpa regulasi yang adaptif, ruang digital bisa dengan mudah dipenuhi oleh hoaks, ujaran kebencian, hingga konten provokatif yang tidak terverifikasi.
Maka dari itu, kehadiran RUU Penyiaran yang baru seharusnya tidak hanya dipandang dari kacamata kekhawatiran, tetapi juga sebagai peluang untuk memperkuat sistem penyiaran nasional yang lebih bertanggung jawab, seimbang, dan inklusif.
Demokrasi tidak akan tumbuh tanpa kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers. Namun, kebebasan yang tidak diiringi tanggung jawab juga dapat menimbulkan disinformasi yang merugikan masyarakat. Oleh karena itu, mari kita dukung proses legislasi ini dengan semangat kritis namun konstruktif.
Negara melalui DPR RI dan pemerintah memiliki itikad baik untuk menghadirkan regulasi yang adil dan visioner. RUU Penyiaran bukan untuk membungkam, tetapi untuk melindungi, membimbing, dan memperkuat peran media sebagai mitra strategis dalam pembangunan bangsa. Bersama, kita bisa ciptakan ekosistem penyiaran yang sehat, profesional, dan demokratis.
(* Penulis merupakan pemerhati lingkungan Urban Catalyst Institute
[edRW]
Komentar