Kasus Kekerasan Anak di Buleleng, Polisi Tunggu Kondisi Korban Stabil
Rabu, 14 Maret 2018
00:00 WITA
Buleleng
4428 Pengunjung
suaradewata.com
(Kapolres Buleleng AKBP Suratno saat merilis kasus narkoba di Polres Buleleng beberapa waktu lalu)
Buleleng, suaradewata.com – Lambatnya penanganan kasus kejahatan seksual dan kekerasan fisik atau psikis terhadap anak yang terjadi di Desa/Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, banyak menebar kritik pedas masyarakat yang peduli dengan kondisi gadis malang tersebut. Pihak Kepolisian Resor Buleleng pun akhirnya angkat bicara terkait sejauh apa penanganan yang dilakukan terhadap kasus tersebut.
“Sampai sejauh ini belum ada laporan polisi karena dari sendiri masih belum bisa dimintai keterangan. Karena masih kondisinya belum stabil. Jadi kalau kita mau melakukan upaya nanti meminta visum atau segala macam kan harus dalam keadaan orangnya sadar. Jadi sementara masih kita buatkan laporan informasi, kita lakukan penyelidikan untuk mengetahui apa tindakan yang terjadi di sana, tindak pidana apa,” ujarKasat Reskrim Polres Buleleng, AKP Mikael Hutabarat SH SIK, Rabu (14/3/2018).
Kepada awak media, Mikael mengaku belum bisa menyimpulkan siapa pelaku dari kekerasan fisik terhadap Melati yang saat ini masih menjalani perawatan intensif di RSUD Kabupaten Buleleng. Yang menurut penuturannya, sejumlah informasi yang beredar di masyarakat masih belum bisa menyimpulkan siapa pelaku kejahatan terhadap Melati.
Dikonfirmasi terkait adanya pengakuan dari si pelaku dalam proses mediasi yang sempat dilakukan di kantor Kepala Desa Banjar, Mikael membantah hal tersebut dengan mengatakan belum ada pengakuan itu.
Baca berita terkait : Bendesa Banjar Tuntut Polres Buleleng Tindak Pelaku Kekerasan Seksual Anak
Mikael mendampingi Kapolres Buleleng AKBP Suratno SIK saat memberikan keterangan kepada awak media mengakui pihaknya telah melakukan penyelidikan terhadap laporan informasi yang diterima terkait dengan kasus yang diduga kuat dilakukan oleh berinisial IBKS alias IG.
“Makanya nanti kita lagi menunggu, apabila nanti ada laporan polisi atau dari keluarganya menyampaikan, maka akan dilakukan penyelidikan dan penyidikan. Itu kan karena delik aduan ya, jadi kalau belum ada yang mengadu maka saya buatkan laporan informasi, jadi kita lakukan penyelidikan. Jadi ibunya (Ibu kandung Melati) kan kurang sehat, masih kurang stabil, jadi kita belum bisa, Ibunya belum stabil dan bapaknya sudah meninggal,” paparnya
Dikatakan, hal terkait dengan kondisi Melati yang masih belum stabil itulah yang membuat pihaknya belum bisa meminta visum et repertum kepada pihak rumah sakit. Mikael pun membantah pihak kepolisian belum melakukan apapun terkait dengan dugaan kejahatan yang dialami oleh Melati.
Disisi lain, AKBP Suratno yang ketika dikonfirmasi terkait dengan penerapan hukum acara pidana yang digunakan dalam proses penyelidikan kasus tersebut menyebutkan bahwa pihaknya masih menggunakan aturan yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Akan tetapi, lanjutnya, dalam hal kejahatan yang dilakukan kepada anak tentu pihaknya menerapkan aturan yang lebih spesial yakni undang-undang perlindungan anak.
“Prosesnya tetap menggunakan KUHAP tapi penerapan pasalnya tentu menggunakan undang-undang anak. Yang tentunya, ancamana pidananya lebih berat (Dari aturan umum KUHP),” kata Suratno menambahkan.
Dalam proses pembuktian suatu tindak pidana, ada beberapa alat bukti yang dihadirkan ke persidangan untuk membuktikan kejahatan tersebut betul-betul terjadi. Visum yang disebut-sebut belum bisa diminta terkait kondisi korban masih belum stabil merupakan salah satu alat bukti yang nantinya mampu memperkuat pembuktian suatu tindak pidana yang terjadi.
Lalu, apa kondisi korban yang masih belum stabil bisa menjadi alasan penundaan pengambilan visum?
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Buleleng, Dr Putu Sudarsana SpOG, yang dikonfirmasi terpisah mengenai proses visum menyatakan bahwa pada dasarnya apa yang dilihat saat pemeriksaan, maka itulah yang disebut visum.
“Visum itu adalah apa yang dilihat dan apa yang ditemukan pada saat pemeriksaan. Seperti contoh ada pemerkosaan yang terjadi seminggu sebelum dilakukan pemeriksaan, maka hasil visumnya adalah apa yang dilihat hari ini (Saat dilakukan pemeriksaan). Jika tidak ditemukan adanya sperma saat dilakukan pemeriksaan, maka hasil pemeriksaan ya tentu tidak akan menyebut ada ditemukan sperma,” kata Sudarsana.
Sudarsana yang saat ini masih menjabat sebagai Wakil Direktur Bidang Pelayanan RSUD Kabupaten Buleleng juga menjelaskan, pemeriksaan pun dapat dilakukan terhadap pasien yang sudah dalam kondisi meninggal dunia. Dan bila dikehendaki untuk melakukan pemeriksaan yang lebih dalam, tentunya harus melalui pemeriksaan medis yang lebih intensif seperti pemeriksaan laboratorium.
Dikonfirmasi seputaran hasil visum terhadap korban kejahatan seksual, Sudarsana menyatakan salah satu yang menjadi target pemeriksaan adalah keberadaan sperma yang ada di dalam vagina korban pemerkosaan tersebut.
Dikatakan, sperma seorang laki-laki disebut sangat sensitif dan mudah mati ketika dalam kondisi panas atau berada di udara terbuka. Menurut Sudarsana, umur hidupnya sperma pun tidak lebih dari tiga jam. Sehingga dalam pemeriksaan terhadap korban pemerkosaan yang sudah lama terjadi, maka akan deteksi dari bekas-bekas kekerasan yang ada ditubuh korban.
“Biasanya kalau korban kekerasan seksual seperti pemerkosaan itu kan akan terjadi bentuk perlawanan dari si korban. Nanti akan kita cek setelah tidak menemukan kandungan sperma dalam vagina korban,” pungkas Sudarsana menegaskan. adi/ari
Komentar