Perarem Adat, Bendung Laju Penjualan Tanah di Bali

  • 11 September 2015
  • 00:00 WITA
  • Denpasar
  • Dibaca: 3146 Pengunjung

Denpasar, suaradewata.com -Perkembangan pariwisata di Bali, demikian pesat. Perkembangan ini membawa perubahan yang signifikan bagi Bali. Sisi positif dari perkembangan ini, Bali menjadi demikian tenar di seluruh pelosok bumi.

Selain itu, pariwisata juga telah membuat perekonomian daerah ini semakin membaik. Hanya saja sisi negatifnya, pariwisata juga membuat masyarakat Bali tergiur untuk menjual tanah. Akibatnya, alih fungsi lahan cukup marak terjadi, dan lahan-lahan produktif demikian mudahnya dilego demi 'surga' pariwisata.

Yang cukup parah, tanah-tanah yang ada di desa adat (pakraman), juga tak luput dari praktek jual beli ini. Fenomena ini menimbulkan keprihatinan dari berbagai kalangan. Keprihatinan ini dibarengi dengan seruan, untuk memproteksi tanah-tanah yang ada di desa adat, baik berupa tanah umum (milik desa adat) maupun milik perorangan krama desa adat, agar tak leluasa dijual.

Seruan salah satunya datang dari Wakil Ketua Komisi I DPRD Provinsi Bali I Wayan Tagel Arjana, di Denpasar, Kamis (10/9). Menurut dia, penting untuk melakukan proteksi sebagai upaya mencegah alih fungsi lahan dan menjaga sistem sosial desa adat, agar eksitensinya tidak tergilas.

Apalagi, banyak tanah di desa adat dimanfaatkan oleh investor untuk kepentingan industri pariwisata yang kerap menggilas sistem sosial yang telah hidup di desa adat. Itu sebabnya, demikian Tagel Arjana, dibutuhkan tanggung jawab desa adat.

"Tanggungjawab desa adat sangat dibutuhkan untuk mencegah aksi jual beli tanah secara membabi buta di desa adat," tandas Tagel Arjana.

Selain mendorong kesadaran krama desa adat, Tagel Arjana juga mendorong setiap desa adat untuk membuat awig-awig atau perarem untuk memproteksi tanah-tanah di desa adat. Awig-awig itu, menurut dia, untuk menghambat penjualan tanah di desa adat.

"Kami mendorong tokoh-tokoh adat dan Majelis Utama Desa Pakraman untuk membuat awig-awig yang khusus mengatur jual beli tanah di desa adat. Itu untuk mencegah alih fungsi lahan dan melindungi desa pakraman itu sendiri," tutur politisi Partai Gerindra itu.

Ia menambahkan, kendati tanah-tanah di desa adat sudah memiliki sertifikat, dan setiap krama desa adat mempunyai hak untuk menjualnya, namun tidak boleh leluasa untuk menjual. Sebab jual beli tanah-tanah di desa adat harus mempertimbangkan kepentingan desa adat itu sendiri, agar eksistensinya tidak tergerus oleh aktivitas pemanfaatan lahan desa adat yang dijual tersebut.

"Dalam perarem, bisa diatur krama desa adat tidak boleh menjual tanah kepada investor. Boleh menjual tanah kepada sesama krama desa adat, tetapi pemanfaatannya bukan untuk kepentingan industri," tegas Tagel Arjana.

Politisi asal Gianyar ini melanjutkan, dalam awig-awig juga bisa dicantumkan aturan krama adat boleh menjual tanahnya setelah mendapat rekomendasi dari desa adat. "Harus ada rekomendasi (Bendesa) desa adat sebelum proses jual beli itu ditandatangani notaris," ucapnya.

Selama ini, kata dia, para pihak yang melakukan perjanjian jual beli tanah terlebih dahulu ke notaris baru ke desa adat. "Jadi polanya diubah, harus ada rekomendasi desa adat baru bisa melakukan transaksi jual beli tanah di notaris," ujar Tagel Arjana. san


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER