Anies Baswedan Gagal Kelola Banjir Sebaiknya Mundur

  • 07 Januari 2020
  • 18:50 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 1830 Pengunjung
google

Opini, suaradewata.com - Banjir yang melanda sebagian besar wilayah Jakarta memicu kecaman keras dari masyarakat. Bahkan,  kegeraman publik tersebut akhirnya memicu petisi online berisi desakan pengunduran diri Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Apa mau dikata jika rasa kecewa telah meliputi dada. Hal inilah yang kemungkinan dirasakan para korban terdampak banjir Jakarta 2020. Di Awal tahun yang seharusnya menjadi momentum pergantian tahun penuh harapan, justru warga ibukota harus menelan kepahitan akibat bencana alam. Memang, banjir seolah tak bisa lepas dari rutinitas musiman, namun seharusnya hal ini telah mampu diantisipasi. Mengingat, sejumlah laporan uang hingga triliunan dan proyek telah digelar, tapi harus mandeg di tengah jalan.

Parahnya, sang gubernur menganggap jika banjir adalah peristiwa yang harus ditangani oleh pemerintah pusat. Sikap yang sungguh sangat disayangkan bukan? Dan akhirnya Presiden pula-lah yang harus turun tangan. Bukan meremehkan, sudah banyak laporan akan lambatnya tindakan Anies selaku gubernur terkait bencana ini. Mulai dari pasokan bantuan hingga celetuk warga yang menyatakan Sang Gubernur hanya mengedepankan pencitraan saja. Lalu kinerjanya ada dimana selama 2 tahun masa jabatannya? Anies yang terkenal cerdas dan pandai beretorika harus terima jika dituduh "tak becus" mengelola kota.

Disisi lain, kegeraman warganet turut memuncak dan kembali merongrong Anies agar turun dari jabatannya. Bahkan, petisi pencopotannya kini tengah ramai di jagad maya. Tercatat setidaknya 183.432 orang telah menandatangani petisi tersebut. Dalam keterangan yang dituliskan, petisi ini muncul akibat tanggapan atas ketidakpuasan warga terhadap pemerintahan Gubernur Anies Baswedan. Dia dinilai gagal dalam mengurus wilayah DKI Jakarta.

Tak hanya gagal mengantisipasi banjir, namun masalah lain mulai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta tahun 2018 yang membengkak, gaji fantastis Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) hingga akses layanan publik Jakarta yang hingga kini belum maksimal. Oleh karenanya, pembuat petisi itu juga mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Dalam Negeri untuk segera bertindak dan mencopot Anies. 

Tak hanya dinilai gagal, Anies terlibat sejumlah perdebatan dengan menteri PUPR, Basuki Hadimuljono soal normalisasi sungai di Jakarta tang menjadi tanggung jawab bersama antara Pemprov dan Pemerintah Pusat. Anies ngotot jika hal tersebut adalah tugas pemerintah pusat, sementara Basuki sudah mengklaim tugasnya telah dilakukan. Namun terkendala oleh banyaknya warga yang menghuni di bantaran kanan dan kiri wilayah tersebut. Disebutkan pula, Anies dinilai kandas dalam sejumlah proyek pembebasan lahan beberapa waktu lalu.

Keinginan Gubernur DKI Anies Baswedan untuk fokus pada penanganan korban banjir sebetulnya sudah benar pada awalnya. Namun entah mengapa hal tersebut kemudian melenceng dari niat semula.

Ketika  Basuki juga menyinggung manfaat normalisasi yang seharusnya 33 km dan baru selesai setengahnya, Anies menjawab bahwa normalisasi bukanlah jaminan.  Kampung Pulo buktinya, terimbas luapan air meskipun sudah ada normalisasi sungai. Tak hanya itu, Anies secara terang-terangan berdalih jika sampah bukanlah faktor banjir ketika Presiden Jokowi mengemukakan hal ini. Anies menambahkan jika Bandara Halim yang bersih-pun terkena banjir padahal tak ada sampah. Anies seolah mengkambinghitamkan alam sebagai penyebab utama banjir ini, miris!

Banjir sudah jelas bencana. Namun, cara seorang kepala daerah menghadapinya dapat mencerminkan implikasi politis. Yang kemungkinan bermuatan positif, atau negatif. Coba ingat kembali ketika Jokowi jadi Gubernur DKI. Dirinya mampu mengelola bencana banjir dan berhasil meyakinkan publik lewat komunikasi media yang efektif dan simpatik. Yaitu dengan menunjukkan kesungguhan kerja dan menjalankan program secara konsisten, Jokowi-pun lolos dari bencana politik gara-gara banjir. Berbeda dengan Anies Baswedan, yang moncer kala skandal anggaran aibon-gate, persoalan banjir tahunan siap membelit mantan Mendikbud tersebut.

Sementara itu, Advokat Peradi, Petrus Selestinus, mengangkat wacana Hak Angket DPRD Jakarta guna mengakomodir suara kemarahan publik terhadap Pemprov DKI yang telah dianggap gagal mengantisipasi banjir. Pihaknya menilai, kemarahan warga akan berbuah melahirkan sebuah krisis kepercayaan publik. Yang mana jika sampai meluas akan berakhir dengan gerakan meng-impeach Anies dari kursi Gubernur DKI Jakarta melalui Pernyataan Pendapat atau Hak Angket DPRD DKI Jakarta tersebut.

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) itupun juga menyoroti pemangkasan anggaran program penanggulangan banjir dua tahun berturut-turut. Dilaporkan pada tahun 2018 DKI memangkas anggaran hingga Rp 242 milyar. Kejadian berlanjut pada tahun berikutnya,  dana antisipasi banjir disunat lebih besar lagi, yakni hingga Rp 500 milyar.

Berdasarkan data itu, pemotongan anggaran disinyalir mengakibatkan terhambatnya pembebasan lahan yang diperlukan untuk menata kelancaran aliran sungai di ibukota. Selain normalisasi ada juga proyek pembuatan inlet sodetan yang menghubungkan Ciliwung dengan  Kanal Banjir Timur (KBT) di daerah Bidara Cina.

Terlepas dari gagalnya Anies dalam menghadapi bencana banjir dan sejumlah masalah yang mengikuti, Anies dinilai gagal pula dalam bersikap. Dirinya tak hanya pandai beralasan, namun juga berkelit dan ganti mencokot pihak lain. Kemungkinan ia tak mau disalahkan seorang diri. Kendati demikian, tak pantaslah seorang pemimpin yang telah berjanji mengayomi warganya kemudian adu pendapat karena kegagalan yang dilakukannya, hal ini sungguh mengecewakan. Pantas saja dia dituntut banyak pihak untuk segera lengser!

Dhika Permadi


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER