Konflik Tanah Negara Desa Pejarakan, Pemkab Buleleng Tak Pegang Sertifikat Asli??

  • 22 Maret 2017
  • 00:00 WITA
  • Buleleng
  • Dibaca: 4854 Pengunjung
suaradewata.com

Buleleng, suaradewata.com – Setelah sejumlah pejabat teras di Pemkab Buleleng enggan dikonfirmasi terkait asset Desa Pejarakan yang dilaporkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Buleleng, terungkap fakta Pemkab Buleleng saat ini tak kantongi sertifikat asli tanah negara seluas 45 hektare yang diklaimnya, Rabu (22/3/2017). Ironisnya, sejumlah keterangan sumir pun muncul dari pengakuan staff bagian asset di Kantor Badan Keuangan Daerah Kabupaten Buleleng, yakni Pasda Gunawan. Bagaimana ceritanya?

“Tahun 1999 (sertifikat asli Hak Pakai 45 Hektare asset Pemkab Buleleng) terbakar kemudian kita sudah proses untuk pengganti sertifikat lama (Hak Pakai) yang terbakar. Itu sudah proses di BPN (Badan Pertanahan Nasional). Sedang proses, belum muncul (Sertifikat asli) dan sedang menunggu informasi lebih lanjut dari BPN (Singaraja),” kata Pasda ketika dikonfirmasi di ruang kerjanya.

Proses pelaporan dan pembuatan sertifikat baru tersebut dikatakan bukan pada tahun 1999 atau kurun waktu dekat pasca terbakarnya kantor BPN Singaraja. Namun proses pelaporan dan pembuatan duplikat (Sertifikat HPL I) dilakukan pada tahun 2016. Sedangkan peristiwa kebakaran pun telah berlangsung hampir 18 tahun pasca sertifikat asli disebut dikatakan terbakar.

Ketika ditanyakan kejanggalan jarak tahun pelaporan dengan peristiwa terbakarnya sertifikat, Pasda mengaku bahwa asset tanah Negara yang dikelola Pemkab Buleleng baru terdeteksi di tahun 2015. Yang menurutnya, kala itu Pemkab Buleleng sedang melakukan penataan ulang asset sehingga proses usulan pembuatan sertifikat baru pun diajukan pada tahun 2016.

Pasca disebut terdeteksi sebagai asset Pemkab Buleleng tahun 2015, pihaknya pun mengaku melakukan pengukuran secara bertahap. Bertahapnya proses pengukuran itu disebabkan karena luasan lokasi yang mencapai 45 hektare.

Dikatakan, proses pengurusan asset tanah Negara yang diklaim hak pengelolaannya oleh Pemkab Buleleng pun sebatas pada luasan 45 Hektare sebagai HPL (Hak Pengelolaan). Sementara, Hak Guna Bangunan (HGB) yang sudah muncul sebelum pendataan asset tersebut atas nama PT Prapat Agung Permai pun tidak dilakukan.

Uniknya, dalam penyampaian sebelumnya disebut bahwa pendataan asset baru dimulai pada tahun 2013. Dan setelah itu, kembali muncul pendataan asset di tahun 2015 dilanjutkan permohonan penerbitan duplikat sertifikat dengan dasar permohonan berupa copy sertifikat HPL I tahun 1976 sesuai gambar situasi nomor 360/1976.

Copy sertifikat itu pun lanjut ditunjukan oleh Pasda kepada suaradewata.com namun ia menolak ketika bukti foto copy tersebut hendak didokumentasikan dalam bentuk foto. Bahkan, untuk halaman depan pun Pasda mengaku tidak mendapatkan izin dari Bimantara yang kala itu keberadaannya di gedung tengah dari kantor Badan Keuangan Daerah.

Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan, wartawan suaradewata.com berhasil menemukan salinan sertifikat HPL I milik Pemkab Buleleng yang dikeluarkan pada tahun 1976. Salinan tersebut menunjukan dasar pemberian hak yang mendasar pada Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 3/HPL/DA/75. Adapun syarat yang diberlakukan dalam pemberian HPL tahun 1976 tersebut diperuntukan sebagai proyek Pengapuran.

Sementara, berdasarkan keterangan sejumlah sumber di areal tanah konflik tersebut menyebut bahwa proyek pengapuran telah berakhir sekitar tahun 1980an. Sehingga, tidak ada aktifitas apapun di kawasan tersebut pasca usainya aktifitas PD Swatantra. adi/ari


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER