Warga Batuampar Surati Presiden Jokowi

  • 03 Juni 2015
  • 00:00 WITA
  • Denpasar
  • Dibaca: 3077 Pengunjung

Denpasar, suaradewata.com - Perjuangan warga penggarap tanah negara di Banjar Batuampar, Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, rupanya tak setengah-setengah. Buktinya, setelah mendatangi DPRD Bali, warga juga mengadukan kasus pertanahan yang berlarut-larut ini ke Ombudsman RI Perwakilan Bali, Rabu (3/6).


Tak hanya mengadu serta menyerahkan data ke Ombudsman, warga juga menyurati Presiden RI Joko Widodo. Dalam surat bernomor 19/ Warga-P/ VI/ 2015 tertanggal 1 Juni 2015 tersebut, warga memohon pembatalan hak pengelolaan (HPL) nomor 1 di Desa Pejarakan.

Surat yang dilampiri data-data terkait dokumen kepemilikan tanah ini, ditandatangani perwakilan warga Batuampar, Wayan Bakti. Surat ini juga ditembuskan kepada Ketua DPR RI, Kakanwil BPN Bali, Gubernur Bali, Ketua DPRD Bali, Bupati Buleleng, Ketua DPRD Buleleng dan BPN Buleleng.

"Masalah ini sudah memakan waktu dan energi kami cukup banyak, dan masalah ini tak kunjung selesai," tulis Bakti, mewakili warga Batuampar lainnya, dalam surat sebanyak dua lembar tersebut.

"Karena itu, kami menaruh harapan dan menggantungkan nasib anak cucu kami kepada Bapak Presiden Yang Terhormat, Ir. Joko Widodo," lanjut Bakti.

Ia pun memohon kepada Presiden Jokowi, agar HPL Nomor 1 di Desa Pejarakan, dibatalkan. HPL itu dibatalkan, menurut dia, karena keberadaan warga di atas lahan tersebut justru sudah berlangsung sejak 1958.

"Sejak 1958 kami bersama 77 KK merabas tanah negara dan bercocok tanam serta bermukim di atas tanah tersebut," kata Bakti.

Ia menyebut, pada tahun 1963, sebagian dari warga sudah mendapatkan SK mendagri, yang menetapkan bahwa tanah tersebut menjadi hak milik warga sehingga statusnya adalah sertifikat hak milik (SHM).

"Sebagian lagi mendapatkan SK Mendagri pada tahun 1982. Di atas SK tersebut ada beberapa poin penting yang ditulis, yakni mewajibkan warga memelihara dan menjaga tanah tersebut, melarang untuk memindah tangankan tanah dan warga wajib membayar pajak," urai Bakti.

Hanya saja pada tahun 1990, warga justru diusir dengan alasan bahwa di atas tanah tersebut terbit HPL Nomor 1 Tahun 1970, dari Pemkab Buleleng. "Katanya waktu itu, akan dibangun perhotelan dan restoran," ucapnya.

Ironisnya, sampai saat ini hotel dan restoran tersebut tidak pernah dibangun. Justru, HPL itu dipakai sebagai agunan sebesar Rp150 miliar di sebuah bank.

"Di sisi lain, kami masih bayar pajak untuk tanah tersebut. Tetapi ternyata masih bermasalah sampai saat ini," tegas Bakti. san


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER