Belajar Kritis dari Peristiwa Bom di Sarinah
Senin, 01 Februari 2016
00:00 WITA
Nasional
2675 Pengunjung
Opini, suaradewata.com - Suara ledakan yang disusul oleh kepulan asap putih akibat ledakan bom bunuh diri pada 14 Januari 2015 di sebuah kafe ternama di Jalan Thamrin mengawali drama serangan teror di Jakarta. Hanya berselang detik, dua teroris lain melepaskan tembakan ke arah masyarakat dan menyandera dua orang warga negara asing. Polisi pun bertindak cepat dengan melumpuhkan dua penyandera dengan timah panas. Sementara diketahui belakangan, satu dari dua sandera meninggal dunia dan lainnya berhasil diselamatkan.
Masih pada saat yang sama, dua teroris lain yang menggunakan sepeda motor meledakan diri di Pos Polisi Sarinah yang tidak jauh dari tempat kejadian sebelumnya. Hal itu mengakibatkan seorang polisi dari Polsek Menteng terluka dan dua teroris lainnya mati seketika. Belakangan diketahui, serangan di Pos Polisi tersebut juga mengakibatkan meninggalnya seorang warga sipil yang sedang ditilang dan lainnya terluka akibat paku dari dari bom yang meledak.
Rentetan ledakan bom dan serangan bersenjata tersebut praktis memicu kepanikan kolektif. Masyarakat yang sedang beraktivitas berhamburan keluar gedung mencoba menyelamatkan dirinya masing-masing atau paling tidak menyaksikan apa yang tengah terjadi. Beberapa saksi mata menuturkan bahwa setidaknya terdapat enam kali ledakan menyerupai bom yang terjadi dalam insiden di Sarinah.
Sementara itu, situasi baru dapat dikendalikan setelah terjadi baku tembak selama kurang lebih 20 menit. Polisi dan aparat keamanan lainnya bergegas menyisir lokasi kejadian guna memastikan bahwa daerah tersebut telah steril dari ancaman teroris. Dari lokasi kejadian, aparat keamanan menemukan 6 bom yang terdiri dari 5 bom kecil yang menyerupai granat tangan dan 1 bom sebesar kaleng biskuit.
Pemberitaan serangan teror viral di berbagai media. Mulai dari televisi, radio, media sosial, hingga pesan singkat seperti WhatsApp, tidak henti-hentinya menyebarkan informasi tentang serangan teroris di Sarinah. Akibatnya, teror yang sebenarnya terjadi di pusat kota Jakarta seketika menjelma menjadi teror berskala nasional sehingga mampu menyita perhatian seluruh masyarakat Indonesia bahkan dunia. Sayangnya, penyebaran informasi terkait serangan teroris di Sarinah relatif banyak dibumbui informasi yang kurang akurat bahkan jauh dari fakta sehingga justru menambah suasana semakin keruh. Simak saja informasi yang beredar pada waktu itu bahwa serangan teroris tidak hanya terjadi di Sarinah, tetapi juga di Cikini, Slipi dan Kuningan. Atau juga simak berita lain yang mentasnamakan Dit Intel Polda Metro untuk menjauhi tempat-tempat American Branded.
Penggunaan sarana telekomunikasi memang meningkat pesat sesaat setelah ledakan dan serangan teroris di Sarinah. Hal tersebut diamini Vice President Corporate Communications Telkomsel, Adita Irawati. Menurutnya lonjakan trafik di Sarinah saat kejadian mencapai angka 200% untuk data dan 271% untuk voice. Tak hanya Telkomsel, operator telekomunikasi lainnya juga langsung mengalami lonjakan pesat. Namun mereka masih belum bisa memastikan persentase kenaikan trafik jaringannya.
Pada satu sisi, kebebasan berkomunikasi memang hak semua orang terlebih saat kejadian luar biasa terjadi di sekitarnya. Pemerintah dan penyedia telekomunikasi wajib memfasilitasi ketersediaan jaringan yang stabil guna mendukung kelancaran penyediaan pertukaran informasi tersebut. Namun disisi lain, penyebaran informasi palsu justru hanya membuat suasana makin mencekam dan teror kian terasa nyata.
Kabar palsu tersebut menyebar dengan sangat masif dari grup ke grup di media sosial WhatsApp, Line, atau Blackberry Messenger. Tak hanya kabar palsu, berita lain yang disebar adalah foto korban ledakan. Penyebaran foto korban yang hancur atau bersimbah darah sangat tidak laik untuk dibagikan mengingat keluarga dan korban tentu tidak ingin dikenang dalam kondisi yang mengenaskan. Ironisnya, penyebaran pesan palsu tersebut tidak dapat lagi dibendung. Informasi yang tidak jelas sumber dan asal usulnya tersebut terlanjur menjebak ribuan warga Jakarta dalam permainan isu hoax. Oleh sebab itu, dapat dipastikan bahwa teror sesungguhnya baru terjadi pasca serangan di Sarinah.
Secara umum, terorisme merupakan paham untuk membangkitkan perasaan ketakutan terhadap sekelompok masyarakat atau individu melalui serangan yang terkoordinasi. Serangan teror berbeda dengan perang karena aksi teror tidak tunduk pada tata cara peperangan pada umumnya. Teror pada umumnya terjadi secara tiba-tiba dan menargetkan korban jiwa secara acak meski seringkali merupakan warga sipil. sifat, metode, dan ideologi terorisme juga semakin luas dan bervariasi hingga terorisme menjadi momok bagi wajah dunia modern dewasa ini. Hal itu terindikasi dari peristiwa serangan Sarinah bahwa selain menggunakan bom dan ledakan bersenjata, teroris juga menebar kepanikan dan kecemasan melalui media sosial dan beragam pesan berantai lainnya guna memberi efek ketakutan yang lebih besar.
Berdasarkan keterangan dari pakar keamanan Internet dari Vaksincom, Alfons Tanujaya yang di lansir CNN, penyebaran berita palsu semakin dimudahkan di era digital seperti sekarang ini. Berkaca pada pendapat tersebut, kita sebagai pengguna sosial media harus mampu bersikap kritis terhadap peristiwa yang ada disekitar kita guna menghindari penyebaran informasi palsu.
Setidaknya ada beberapa hal yang perlu dilaksanakan dalam menyikapi berita yang simpang siur : Pertama, menghormati korban dan keluarga korban dengan berhenti membagikan foto korban yang berlumuran darah atau anggota tubuh yang terluka. Kedua, melakukan cek silang atau pengecekan ulang atas sebuah informasi ke instansi resmi pemerintah seperti Kepolisian atau Rumah Sakit. Ketiga, berhenti menyebarkan berita yang hanya berdasarkan pendapat pribadi karena berpotensi memecah belah dan memperkeruh keadaan. Keempat, berhenti membuat lelucon karena dapat menyakiti hati orang yang terkait dengan tragedi tersebut.
Nampaknya, kita sebagai pengguna media sosial harus kembali belajar untuk lebih beretika dan bijak dalam menyebarkan kabar atas sebuah peristiwa. Dari peristiwa serangan teroris di Sarinah masyarakat kembali diajak untuk lebih dewasa sehingga tidak terjebak dalam informasi yang sesat mengingat terkadang gambar dan kata-kata lebih tajam dari pada pedang. Keep Calm and #KamiTidakTakut !
Dodik Prasetyo, penulis adalah pengamat sosial
Komentar