Indonesia Melawan Terorisme
Kamis, 28 April 2016
00:00 WITA
Nasional
2184 Pengunjung
Opini, suaradewata.com - Pesatnya perkembangan kelompok radikal Jaringan Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS), telah meluas dan merambah ke Negara – negara anggota ASEAN, seperti Singapura, Malaysia, Philipina dan Indonesia, baik secara terang-teranganan dengan mendeklarasikan cabang ISIS maupun secara senyap dengan pernyataan dukungan dari Ormas maupun parpol. Ini sama halnya dengan kelompok Abu Sayyaf juga dikenal dengan Al-Harakat Al Islamiyah yang mana kelompok ini adalah salah satu kelompok separatis yang berbahaya d Philipina . Kelompok ini sangat bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan seperti penculikan, pengeboman, pembunuhan, sampai pemerasan sehingga jika ada yang di sandera mereka meminta tebusan sampai miliaran rupiah. Sekarang ini mereka berusaha untuk memperluas jaringannya di wilayah Malaysia dan Indonesia untuk menambah pengikutnya.
Hal yang paling mengejutkan pada Hari Sabtu 26 Maret 2016 lalu saudara-saudara kita Warga Negara Indonesia sedang mengalami suatu musibah yaitu disanderanya 10 (sepuluh) warga negara indonesia oleh kelompok Abu Sayyaf di perairan Philipina. Kronologisnya, saat itu kapal Tundra Brahma 12 dan Kapal Tongkang Anand 12 yang sedang dalam perjalanan dari sungai puting kalimantan selatan menuju Batanga Philipina dan membawa beberapa ton batu bara dan kemudian ketika di perairan laut Philipina menurut pihak Philipina ejadiannya sangatlah cepat hingga tidak begitu diketahui persis kejadiannya beberapa kelompok Abu Sayyaf membajak kapal tersebut. Setelah kejadian itu kelompok Abu Sayyaf sampai dua kali menghubungi pemilik kapal tersebut untuk meminta tebusan sebesar 50 peso atau sekitar 14,2 Miliar. Kelompok Abu Sayyaf memang terkenal dengan penculikan-penculikan warga negara asing di Philipina. Tercatat belakangan dua warga negara Kanada, satu warga negara Philipina dan satu warga negara Norwegia sekarang menjadi sandera mereka. Sejak tahun 2000-an mereka terkenal dengan penyanderaan dan meminta tebusan.
Kelompok Abu Sayyaf sudah dinyatakan pemerintah Philipina sebagai teroris. Jadi dari sisi pemerintah Philipina tidak ada kompromi dengan Abu Sayyaf. Karena yang disandera adalah WNI dan tempat penyanderaan asal di perairan Indonesia, sebaiknya Philipina melibatkan Tentara Nasional Indonesia atau Polri dalam operasi pembebasan. Indonesia bisa menggunakan pengalamannya ketika membebaskan para sandera di Somalia beberapa tahun lalu. Operasi pembebasan para WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf Philipina merupakan tantangan bagi kedua negara dalam kerjasama keamanan ASEAN. Karena prinsipnya para pelaku ditumpas dan 10 WNI bebas dengan selamat.
Upaya-upaya pembebasan sandera terhadap 10 WNI tengah dikoordinasikan antara Pemerintah Indonesia dan aparat keamanan Philipina. Seperti halnya upaya dari Presiden Jokowi dan jajarannya termasuk TNI dan Kementerian Pertahanan maupun Kementerian Luar Negeri Indonesia melakukan serangkaian langkah untuk upaya pembebasan WNI yang disandera oleh kelompok Abu Sayyaf. Adapun langkah-langkah itu meliputi langkah (1) pengenalan tentang Abu Sayyaf, (2) diplomatik, (3) kerjasama dengan aparat keamanan Philipina, (4) detail strategi khusus pembebasan.
Sementara itu, disisi lain Philipina terkesan kurang sigap dan akurat dalam misinya menyelamatkan sandera, atau sekaligus menumpas kelompok Abu Sayyaf. Misalnya, Pihak Abu Sayyaf meminta tenggat waktu penebusan untuk pembebasan sandera sebesar 50 Peso (senilai 14,2 miliyar rupiah) hingga Jum’at, 8 April. Namun, Pihak Philipina justru melakukan upaya pembebasan ala militer pada Sabtu, 9 April 2016. Meskipun, upaya diplomasi dan negosiasi sejak dari awal dilakukan meski belum membuahkan hasil. Pemerintah, masyarakat, dan militer Indonesia, sejak isu penyanderaan muncul hingga batas waktu tebusan, seakan ‘risih’ dan ‘tidak sabar’ dengan apa yang sedang dilakukan oleh pihak Philipina. Indonesia hanya mampu melakukan koordinasi dan konfirmasi atas kondisi dan perkembangan terkait penyanderaan ini. Indonesia, bahkan telah menyiapkan strategi dan kekuatan untuk pembebasan 10 WNI. Padahal, Militer Indonesia (Polri maupun TNI) siap dengan segala Detasemen yang ada. Detasemen Jala Mangkara (Denjaka) Angkatan Laut, Komando Pasukan Khas (Kopaskhas) Angkatan Udara, hingga mesin militer paling ditakuti Internasional yakni Kopassus (Komando Pasukan Khusus) Angakatan Darat. Sedangkan dari pihak kepolisian, tentu sudah stand-by pasukan elitnya yakni Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti-Teror (Densus 88 AT). Bahkan secara khusus, Kepala Staf TNI Angkatan Udara, menyatakan kesiapan pasukannya untuk operasi pembebasan sandera di Philipina.
Menumpas teroris, bukan kewajiban Philipina semata, tetapi semua negara tetangga utamanya negara-negara yang tergabung ASEAN. Untuk itu diperluikan kerhjasama yang signifikan. Sementara, saat ini Indonesia dapat dinilai sebagai pihak yang mampu menumpas, maka kredit poin besar bagi ‘Reputasi’ Indonesia di mata negara-negara Asia Tenggara, dan dunia Internasional pada umumnya. Kita juga mengapresiasi langkah Philipina untuk menyelamatkan WNI dan Kita juga turut berbelasungkawa atas meninggalnya 18 Tentara Philipina yang baru-baru ini mengalami pertempuran dengan kelompok teroris dalam menumpas teroris di Philipina.
Tantangan Indonesia kedepan mungkin akan semakin berat dengan melihat beberapa aksi-aksi terorisme lainnya yang telah menjelma menjadi musuh bangsa, maka mari kita bersama oleh segenap bangsa, pemerintah dan masyarakat untuk bersinergi tentu saja dengan memegang cara teguh prinsip persatuan bangsa, Bhineka Tunggal Ika, serta Pancasila. Semakin kuat rasa persatuan dan cinta tanah air di dalam diri kita, maka akan semakin kuat pula keteguhan dalam menolak segala jenis propaganda terorisme. Disisi lain peran media khsususnya dalam menghadapi peristiwa penyanderaan ini sangatlah dibutuhkan untuk memndukung suksesnya upaya pembebasan buka menambah keruh di dunia media sehingga berdampak pada keluarga korban, untuk itu keluarga korban juga dibutuhkan perannya guna membantu suksesnya proses pembebesan ini.
Apriliani Nusa Dewanti, Penulis adalah pengamat internasional, saat iini aktif pada Kajian Pengembangan Hubungan Internasional.
Komentar