Kebohongan Isu HAM oleh Pihak Asing dan Separatis Papua
Minggu, 17 April 2016
00:00 WITA
Nasional
4279 Pengunjung
Opini, suaradewata.com - Beragam tuduhan dilayangkan Kelompok Separatis Papua pimpinan Benny Wenda untuk internasionalisasi isu-isu HAM di Papua. Bulan Maret lalu, tuduhan terhadap militer dan polisi baru-baru ini didokumentasikan melaluilaporan Keuskupan Gereja Katolik Brisbane, yang mengatakan warga Papua dipukuli, diintimidasi, disiksa, diculik bahkan dibunuh di Papua.Isu ini sudah lama digunakan pimpinan Benny Wenda dalam mendiskreditkan pemerintah Indonesia.
Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa adanya upaya radikalisasi Muslim di provinsi yang berpenduduk dominan Kristen tersebut, dimana para milisi Muslim dikatakan secara aktif membakar rumah-rumah para warga Papua.Isi laporan ini dihimpun oleh Shadow Human Right Fact Finding Mission to West Papua yang dibentuk oleh Brisbane Catholic Justice and Peace Commission, menyusul kunjungan mereka ke Papua bulan lalu.
Fakta-fakta yang disebutkan dalam laporan tersebut sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang sebenarnya. Laporan tersebut hanya menyajikan hasil wawancara tim pencari fakta yang tentunya penuh dengan subjektivitas dan tidak valid, tanpa data yang jelas. Jika benar terjadi pemukulan, intimidasi, penyiksaa, penculikan dan pembunuham, maka warga Papua mana yang diperlakukan seperti yang mereka katakan. Hasil laporan mereka tidak membuktikan terjadinya kekejaman kemanusiaan di Papua maupun terhadap orang Papua.
Keberadaan militer Indonesia di Papua adalah hal yang sangat wajar dan wajib. Hal tersebut sangat berguna untuk membantu keamanan dan kedaulatan NKRI. Adanya laporan organisasi Australia yang menuduh Pemerintah dapat dianggap sebagai pembentukan stigma negatif asing. Mereka ingin mengintervensi kedaulatan NKRI atas Papua yang sah. Isu-Isu ini dimunculkan untuk memperkuat pengaruh mereka hingga dapat menguasai Papua.
Upaya pemecah belahan Indonesia juga telah dilakukan asing terkhususnya Australia sejak dahulu. Kita dapat bercermin dari lepasnya Papua dari Ibu Pertiwi. Australia adalah salah satu negara yang sangat gencar dalam mendorong pelepasan Timor Leste. Penyebab utamanya adalah sumber daya migas yang berlimpah di Timor Leste. Hal yang sama dapat saja terjadi dengan Papua. Pernyataan salah satu tim pencari fakta Keuskupan Gereja Katolik Brisbane. Suster Connelly,menyamakan kunjungannya ke Papua Barat seperti "melangkah kembali ke dua puluh tahun silam ketika saya pertama kali pergi ke Timor Timur".Hal ini sangat menggambarkan bahwa pemerintah Australia baik melaui organisasi pemerintah ataupun non pemerintah melakukan propaganda dalam memecah belah bangsa ini.
Hal menarik lainnya dalam laporan iniyang menyebutkan bahwa warga asli Papua sekarang terpinggirkan secara ekonomi yang disebakan imigran yang mayoritas adalah Muslim. Secara tidak langsung, laporan ini menuduh imigran muslim menyebabkan kesengsaraan pada warga asli Papua. Laporan ini bersifat menghasut serta menyebarkan kebencian antar umat beragama di Papua. Isu yang cukup sensitif untuk menghidupkan konflik seperti peristiwa Tolikara. Mereka memarjinalkan kehidupan masyarakat Indonesia melalui agama.
Laporan Keuskupan Gereja Katolik Brisbane adalah tuduhan-tuduhan munafik yang tidak berdasar. Mereka seharusnya berkaca pada keadaan dalam negeri sendiri. Australia adalah negara yang berada di Pasifik, juga memiliki masyarakat yang beretnis Melanesia. Di Australia, mereka disebut dengan suku Aborigin. Hal yang lebih buruk tejadi pada mereka. Sangat jauh berbeda dengan warga Indonesia yang beretnis Melanesia, suku Aborigin bahkan tidak diakui pemerintah Australia sebagai warga negara. Proses yang sangat panjang dalam pengakuan hak suku Aborigin agar sama dengan warga negara lainnya.
Tak hanya hak politik, hak hidup sebagai layaknya manusia pun tak dimiliki orang Aborigin. Dahulu mereka dibantai, diculik dari rumahnya, dimatikan kebiasaan hidupnya, diperkosa agar lahir generasi mulato. PM Toni Abbott juga menolak untuk berkonsultasi dengan Aborigin yang ingin diakui secara konstitusional. Sebelumnya, pemimpin Aborigin menghendaki agar kelompok mereka melakukan perundingan awal dan setuju dulu, soal bagaimana mereka akan diakui dalam konstitusi sebagai penduduk asli negara itu. Abbott mengatakan langkah itu tak akan mendapat dukungan luas. Aborigin tidak disebutkan dalam konstitusi, dan sebuah kesepakatan baru sedang dirundingkan untuk mengubah konstitusi. Abbott hanya menjanjikan penyelenggaraan referendum di tahun 2017 yang membuka peluang orang Aborigin dan penduduk pulau Torres Strait diakui sebagai penduduk asli Australia.
Sangat jelas tergambar bahwa ada kepentingan terselubung dalam upaya pemisahan Papua dengan isu-isu HAM. Bagaimana mungkin mereka sangat gencar menuduh pelanggaran HAM di negara lain hingga memutar balikkan fakta, namun pelanggaran HAM di negara sendiri tidak disuarakan di dunia Internasional. Hal ini tentunya dapat menjadi salah satu senjata pemerintah jika kita dituding telah melakukan pelanggaran HAM, bahkan pelanggaran yang tidak pernah terjadi. Pemerintah dan masyarakat juga jangan sampai terprovokasi oleh isu-isu tidak valid yang gencar mereka sampaikan.
Rani Kumala, Mahasiswi Universitas Cendrawasih
Komentar