Pelanggaran Lembaga Finance Marak di Bali

  • 06 Mei 2015
  • 00:00 WITA
  • Denpasar
  • Dibaca: 5437 Pengunjung

Denpasar, suaradewata.com - Pelanggaran yang dilakukan lembaga-lembaga pembiayaan (finance) di Bali, cukup marak. Ini dibuktikan dengan banyaknya pengaduan konsumen terkait lembaga finance yang cukup tinggi.


"Untuk periode Januari - April 2015, misalnya, total pengaduan konsumen terkait finance sebanyak 60 aduan. Dari sisi tenggang waktu, jumlah aduan ini tergolong cukup tinggi," kata Direktur Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Bali, I Putu Armaya, di Denpasar, Rabu (6/5).

Terhadap tingginya pengaduan ini, pihaknya akan perhatian khusus. "Kita tidak mau pelanggaran-pelanggaran seperti ini terus terjadi. Kita ingin masyarakat sadar, dan tidak boleh ada pembiaran," ujar Armaya.

Menurut dia, dari pengaduan yang diterima pihaknya, diketahui bahwa saat ini banyak lembaga finance di wilayah Bali yang menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen (consumer finance). Lembaga pembiayaan ini dikategorikan dalam lembaga pembiayaan non-bank, yang prosedur pelaksanaannya telah diatur oleh pemerintah dalam undang-undang dan peraturan pemerintah.

"Namun fakta di lapangan dalam pelaksanaannya, lembaga pembiayaan melakukan penyimpangan dan perbuatan-perbuatan melawan hukum. Jika finance melanggar aturan, maka salah satu yang dirugikan adalah negara karena tidak mendapat pemasukan dari pajak," ucapnya.

Dikatakan, beberapa penyimpangan yang dilakukan lembaga finance, di antaranya adalah melakukan kontrak perjanjian dengan konsumen tidak di hadapan notaris. Akibatnya, kontrak tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai perjanjian "di bawah tangan" karena tidak ada akta notaris sebagai kekuatan hukum yang diakui undang-undang.

Padahal dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya syarat objektif. Salah satu unsur dari syarat objektif tersebut adalah perjanjian yang dibuat harus mempunyai kekuatan hukum.

Jika syarat objektif tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian yang dibuat batal demi hukum. Artinya, perjanjian itu dianggap tidak ada dan tidak ada hak untuk pihak manapun melakukan penuntutan pemenuhan perjanjian tersebut di mata hukum.

"Maka dapat disimpulkan bahwa dalam praktiknya, leasing telah dengan sengaja melanggar Pasal 1320 KUH Perdata," tegasnya.

Anehnya lagi, lanjut Armaya, dalam perjanjian kontrak antara finance dengan konsumen, disebutkan bahwa perjanjian tersebut dibuat dengan penyerahan hak milik secara fidusia. Tetapi, perjanjian fidusia tersebut tidak didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia untuk mendapatkan sertifikat fidusia.

Ini menarik, mengingat dalam UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan PP Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata cara Pendaftaran Fidusia dan Biaya Pendaftaran Fidusia, disebutkan salah satu syarat pendaftaran fidusia adalah adanya salinan akta notaris.

"Artinya, jika perjanjian ancara finance dengan konsumen dibuat di bawah tangan, maka tidak ada akta notaris. Jika tidak ada akta notaris, maka tidak bisa dibuatkan sertifikat fidusia," papar Armaya.

Atas dasar itu, ia menyimpulkan bahwa leasing telah dengan sengaja melanggar UU Nomor 42 Tahun 1999 Jo PP Nomor 86 Tahun 2000. Apalagi dalam perjanjian antara pihak finance dengan konsumen, sering dicantumkan "Klausula Baku".

"Klausula baku adalah aturan yang telah dibuat atau disiapkan terlebih dahulu secara sepihak, dan di dalam klausula baku tersebut dinyatakan bahwa konsumen memberikan kuasa kepada finance untuk melakukan segala tindakan terkait objek jaminan fidusia," urai Armaya.

Selanjutnya dengan dalih berdasarkan kuasa dari konsumen dalam klausula baku yang dicantumkan dalam perjanjian di bawah tangan sebelumnya, pihak finance membuat akta notaris dan sertifikat fidusia secara sepihak. Akibatnya, konsumen tidak memegang salinan akta notaris dan sertifikat fidusia tersebut karena konsumen tidak turut serta menghadap notaris, melainkan dikuasakan kepada pihak finance.

Masih banyak modus lainnya yang dilakukan pihak finance, yang pada intinya melanggar aturan sesuai aduan konsumen. Penyimpangan dan perbuatan melawan hukum tersebut, menimbulkan akibat hukum yang kompleks dan beresiko tinggi.

"Perbuatan melawan hukum, dan tindakan sepihak, serta arogansi debt collector yang terus terjadi menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Ini tidak boleh dibiarkan," tandas Armaya. san


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER