Serap Aspirasi Warga Pemuteran, Dewan Buleleng Kunjungi Bukit Ser
Rabu, 25 Desember 2024
12:19 WITA
Buleleng
1714 Pengunjung
Pimpinan dan Anggota DPRD Kabupaten Buleleng saat berkunjung ke Bukit Ser Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng pada Selasa (24/12/2024).
Buleleng, suaradewata.com – Aspirasi warga Desa Pemuteran yang mengatasnamakan Aliansi Masyarakat Pemuteran audensi ke gedung dewan terkait tanah negara di bukit ser yang diduga ada permasalahan. Pimpinan dan Anggota DPRD Kabupaten Buleleng langsung melakukan berkunjung ke Bukit Ser Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng pada Selasa (24/12/2024).
Ketua DPRD Buleleng Ketut Ngurah Arya A.Md.Kom, didampingi pimpinan DPRD Buleleng, Ketua Komisi I, Anggota DPRD Buleleng serta tim ahli DPRD Buleleng melaksanakan kunjungan kerja ke Desa Pemuteran terkait dengan permasalahan status tanah negara seluas 1.81 hektare yang menjadi polemik sejak Tahun 2021 lalu.
Salah satu warga menyampaikan, bahwa asipirasi yang beberapa waktu lalu disampaikan di gedung dewan yakni tentang status tanah negara yang diajukan desa adat seluas 1.81 hektare untuk pembangunan Pura Segara tidak ada kelanjutannya. Belakangan, permohonan tanah tersebut muncul atas nama pemilik lain. “Kami selaku warga meminta kepada Dewan Buleleng untuk bisa membantu warga mengembalikan tanah negara tersebut sebagai permohonan awal yakni pembangunan Pura Segara” ujarnya.
Ketut Ngurah Arya menegaskan DPRD Buleleng akan berada ditengah-tengah dan menyelesaikan permasalahan ini sampai tuntas. "Kami sudah meminta Komisi I untuk terus mengawal terkait permasalahan tersebut. Dan kami juga sudah meninjau langsung ke lapangan. Dalam hal ini harus ada kejelasan batas wilayah, dan saya akan mengawal jika ada kesalahan prosedur. LSM juga diharapkan terus mengawasi kasus ini,” tegasnya.
Ia juga menyoroti sejumlah kejanggalan, seperti data yang bersifat parsial dan sertifikat yang terpisah-pisah.“Kemungkinan terbentur pada keterbatasan dana, sehingga diperlukan pengacara untuk menangani kasus ini. Langkah selanjutnya, kami harus mengumpulkan data untuk melihat apakah ada titik yang mencurigakan,” ujarnya.
Sementara itu I Nyoman Sunarta SH, MH dari Kantor Pengacara INS dan Rekan sebagai kuasa hukum sekaligus yang membantu proses pengajuan sertifikat atas tanah negara menyampaikan bahwasanya prosesnya panjang. "Ketika mereka datang ke kantor kami, kami tidak langsung mengiyakan. Karena harus mengkroscek benar tidaknya para pemohon sudah menempati tanah tersebut lebih dari 20 tahun. Dan rata-rata tinggal di tahun 70-an, rata rata saya tanya kerena tidak ada pilihan lain mereka tinggal disana dan kembali dikonfirmasi ke klian dusun setempat," ucap Nyoman Sunarta.
Ditambahkan bahwa proses awalnya sudah dikroscek kepada penduduk disekitar, klian, perbekel dan lainnya, semua juga menjelaskan para pemohon yang jumlahnya 5 orang tadi sudah puluhan tahun tinggal ditempat tersebut. "Selanjutnya dilakukan pengecekan apa bukti tambahan dari pemohon yakni Nengah Wangi, Nengah Kutang, Nengah Matal, Ketut Sudiarsa, ternyata semua sudah punya SPPT," ungkap Nyoman Sunarta.
Setelah melakukan pegecekan fisik juga didapati bahwa mereka juga sudah puluhan tahun tinggal dan punya rumah dan garapan meskipun sifatnya tahunan, sebab tanahnya kering dan bercocok tanam hanya di musim hujan.
Iapun nenyebutkan dari hasil penelusuran sudah sesuai ketentuan dan dikonsultasikan ke BPN, semua persyaratan administrasi dan lainya akhirnya diajukan ke BPN."Pada saat itu ketika 5 pemohon sudah siap, pak kadus menyampaikan jangan hanya warga saja dimohonkan tapi juga pelaba pura, yakni pura taman yang diempon oleh Banjar Adat Bukit Teledu," jelas kuasa hukum para pemohon ini.
Diterangkan juga oleh Nyoman Sunarta bahwa akhirnya setelah siap dajukan untuk pengempon pura perbekel juga menyampaikan kepada pihaknya jangan hanya untuk pura, tapi perbekel minta juga dimohonkan untuk Desa Adat dan dibuatlah kesepakatan antara pengempon pura dan desa adat."Sudah ada kesepakatan pengempon pura dengan Desa Adat, dimana kalau berhasil pengurusan tanah tersebut maka akan dibagi 2, dan setelah terbit sertiifikat untuk pengempon pura dibagilah untuk desa adat seluas 80 are, dan saat ini SHM atas nama Desa Adat sudah dipegang Bendesa Adat" terang Nyoman Sunarta.
Dijelaskan oleh Nyoman Sunarta bahwa dari konsultasi dengan BPN disebutkan bahwa tidak ada ketentuan melarang tanah yang telah terbit SHM itu dijual setelah terbit sertifikat. Berbeda dengan tanah redistribusi ada ketentuan tidak boleh dijual selama 10 tahun.
I Nyoman Sunarta mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh Komisi I DPRD Buleleng. "Hal ini karena lembaga DPRD yang mampu mendudukan fakta dengan benar, sebelum mempublish ini, dan syukur kami diundang untuk memberikan klarifikasi dan data, banyak sekali pemberitaan yang saat ini simpang siur, berkaitan dengan permohonan yang dilakukan warga pemuteran sendiri, kami menjelaskan bahwa para pemohon juga adalah warga pemuteran yang sudah tinggal puluhan tahun, rata rata 50," ucap Sunarta.
Ditekankan juga bahwa permohonan yang dilakukan pemohon sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan BPN juga sudah melakukan tugasnya dengan baik. "Tidak ada pihak - pihak lain yang terlibat. Ini murni adalah profesional dan pekerjaan saya sebagai pengacara untuk membela masyarakat yang minta tolong dan kami sudah fasilitasi semua, warga dapat, pura dapat dan adat juga dapat," pungkasnya. Acara kemudian diakhiri dengan melakukan sidak kelapangan, meski terjadi diskusi dan debat namun kesimpulannya bahwa prosedur pengajuan sudah sesuai prosedur. Sad/red
Komentar