PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Jalan Anyelir I, Nomor 4A, Desa Dauh Peken, Kec. Tabanan, Kab. Tabanan, Bali

Call:0361-8311174

info@suaradewata.com

Serobot Tanah Petani, Penguasa Dinilai Makar

Kamis, 21 Mei 2015

00:00 WITA

Denpasar

2529 Pengunjung

PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Denpasar, suaradewata.com - Anggota Komisi I DPRD Bali Nyoman Tirtawan, menuding penguasa di Kabupaten Buleleng melakukan tindakan makar. Ini terkait penyerobotan atas lahan seluas 45 hektar di Batuampar, Pejarakan, Buleleng.


Menurut dia, tanah tersebut sesungguhnya milik 48 petani setempat. Para petani tersebut memiliki kekuatan hukum terkait kepemilikan lahan yang ada. Sebab, para petani telah mengantongi Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tahun 1963.

"Tetapi tiba-tiba tanah para petani ini dirampas pemerintah. Ini makar," kata Tirtawan, di Gedung DPRD Bali, Rabu (20/5).

Atas kondisi ini, kata dia, para petani pemilik lahan di Batuampar, Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng ini terancam digusur dari tempat tinggalnya. Ini sangat ironis, mengingat para petani tersebut telah mendiami lahan dimaksud turun temurun.

"Karena dirampas, para petani tidak lagi menjadi pemilik lahan, tetapi hanya menjadi penggarap," ujar politisi Partai NasDem, asal Buleleng itu.

Tirtawan menduga, penyerobotan tersebut dilakukan oleh penguasa dan pemerintah setempat pada tahun 1999 lalu. Hingga kini, perampasan lahan petani ini tidak ada penyelesaian secara hukum.

Untuk menyelesaikan kasus ini, demikian Tirtawan, Komisi I DPRD Provinsi Bali berencana akan memanggil Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana, Kepala BPN Kabupaten Buleleng dan pihak-pihak terkait untuk dimintai pertanggungjawaban terhadap kasus tersebut. "Kita ingin penjelasan pihak-pihak terkait, termasuk bupati," ucapnya.

Menurut Tirtawan, ada keluhan dari petani bahwa ketika mereka mendatangi BPN Buleleng untuk meminta sertifikat, pihak BPN tidak langsung melayani kebutuhan masyarakat. BNP malah meminta rekomendasi dari Bupati Agus Suradnyana.

"Bupati sendiri seolah-olah tidak tegas, dan terkesan ingin menguasai tanah tersebut, karena katanya sudah bukti bahwa warga hanya memiliki hak pengelolahan (HPL)," tandasnya.

Itulah sebabnya, pihaknya menjadwalkan pemanggilan Bupati Buleleng dan DPRD Buleleng. Selain ingin kejelasan dari penguasa di Buleleng, para petani juga mendesak Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Ferry Mursyidan Baldan, "turun gunung".

"Petani minta Pak Menteri segera turun ke Buleleng, melihat langsung ke lokasi sengketa yang sudah bertahun-tahun terjadi dan hingga kini tidak kunjung ada penyelesaian," tutur Tirtawan.

Ia menjelaskan, sejak tahun 1958, tanah seluas kurang lebih 45 hektar itu ditempati oleh warga satu kampung di Batuampar. Saat itu, ada kampung di lokasi tersebut. Kemudian tahun 1963, terbit SK Mendagri yang menyebutkan jika tanah itu wajib dipelihara, diusahakan, dan tidak bisa dipindahtangankan dengan alasan apa pun.

Namun belakangan, tanah ini bermasalah. Kasus berawal dari tahun 1982, melalui SK Mendagri juga telah terbit sertifikat hak milik atas nama Nyoman Parwata dengan luas 1 hektar lebih dan atas nama Ketut Salin sejumlah 1 hektar lebih. Total keseluruhan ada 4 sertifikat. Kasus ini adalah awal sengketa dan konflik,

"Saat itu turun aparat. Bahkan ada polisi yang menodongkan pistol ke salah seorang petani, Made Lastri. Akibat konflik itu, seorang warga sampai gantung diri, namanya Dayu Pandanyuh," bebernya.

Bagi Tirtawan, kasus ini menegaskan bahwa pemerintah tidak berpihak pada orang kecil. "Sebab mereka diusir dari tempat tinggalnya dengan berdalih hanya HPL. Sekarang mereka hanya menjadi penggarap, bukan pemilik lahan lagi," kata anggota Fraksi Panca Bayu DPRD Provinsi Bali ini.

Bagi Tirtawan, apa yang dilakukan pemerintah setempat yakni melawan SK Mendagri, adalah tindakan makar. "Ini bukan saja perampasan, tetapi ini tindakan makar," pungkasnya. san


Komentar

Berita Terbaru

\